Tuesday, October 31, 2006

Proyek Kongko

MASIH dalam suasana Lebaran. Mudik, berkunjung ke sanak famili, teman, bermaaf-maafan, lalu bercerita tentang hidup dan kehidupan di Ibukota. Dalam perbincangan yang santai, tapi serius. Kongko.

Setelah basa-basi tentang kehidupan di kampung, pemudik biasanya jadi pendongeng. Yang diceritakan, sedikit saja tentang kehidupannya di kota besar. Selebihnya, ia ceritakan tentang wah-nya hidup dan kehidupan orang lain di Ibukota. Seolah-olah ia menjadi aktor dari orang lain yang wah itu. Tentang pekerjaan, mobil mewah yang berseliweran, gedung pencakar langit, juga tentang cewek-cewek mulus nan seksi.

Lumayan! Dapat kopi gratis, snack dan makan gratis, bahkan tiket ke Jakarta.

Puas membuat teman dan saudaranya ngiri dan ngiler. Lalu pulang. Ke rumah, ke Jakarta. Kembali ke kehidupan yang sesungguhnya. Tak sedikit yang akhirnya ikut mengadu nasib di Ibukota. Tergiur ajakan dan tawaran temannya, pemudik. “Sebentar lagi banyak proyek dibangun!”

Ya! Sejak awal, pemerintahan sekarang sudah berkoar-koar untuk membangun sejumlah proyek mega dalam bidang infrastruktur. Ada jalan tol, telekomunikasi, pembangkit listrik, pertambangan, pelabuhan, dan air minum. Seribu tiga ratus triliun rupiah, nilainya! Saking besar dana yang dibutuhkan, dalam negeri angkat tangan. Karena itu investor asing harus didatangkan.

Awal tahun lalu, proyek-proyek itu sudah ditawarkan ke pengusaha mancanegara dan dalam negeri, tetapi hanya sedikit yang laku. Sejak itu, pemerintah mempromosikan Indonesia di luar negeri. RI-1 dan 2, bahkan –kalau ada istilahnya—RI-3, 4, 5, dan seterusnya rutin bertandang ke luar negeri. Tak hanya proyek yang dipromosikan, tetapi juga iklim investasi di Tanah Air. Sekalian insentif, keringanan, dan bahkan jaminan proyek itu.

Kabar yang tersiar, setiap pejabat negara bertandang ke luar negeri selalu disambut puluhan, bahkan ratusan pengusaha setempat dengan antusiasme tinggi. Intinya, mereka amat tertarik berinvestasi di Indonesia.

Dalam acara pameran dan konferensi infrastruktur yang digelar besok, pada 1-3 November 2006, ratusan investor mancanegara sudah mendaftar untuk hadir. Sebanyak 850 investor dari 28 negara sudah mendaftar untuk hadir dalam acara gebyar yang disebut Infrastructure Conference and Exhibition (ICE) 2006.

Chris Kanter, ketua Organizing Committee ICE 2006, seperti dikutip Kompas (30/10), mengatakan, “saya kira peserta ICE ini benar-benar investor yang serius, sebab mereka harus membayar US$ 750 sebagai biaya kepesertaan.”

Lho! Bicara proyek miliaran dolar AS, tapi kenapa keyakinan akan keseriusan investor dikaitkan dengan biaya yang tak sampai seribu dolar?

Lho! Setelah para pejabat pemerintah, mulai dari RI-1, 2, entah RI berapa lagi, ramai-ramai ke luar negeri menawarkan berbagai proyek, mempromosikan iklim investasi yang sudah lebih baik, menjanjikan bahkan menjamin, sekarang kok 850 investor dari 28 negara diundang untuk sebuah pameran dan konferensi infrastruktur yang diberi nama keren ICE 2006? Proyek kok dipamerkan? Dikonferensikan?

Atau memang demikian yang diinginkan. Berkoar-koar tentang proyek mega di dalam negeri kepada pengusaha luar negeri. Cuma sebatas berkoar-koar? Karena sesungguhnya proyek-proyek itu bukan untuk ditawarkan, tetapi cuma dipamerkan dan dikonferensikan. Karena proyek-proyek yang ditawarkan itu sesungguhnya sudah ada yang punya, terutama proyek-proyek yang pasti menguntungkan.

Lalu, pertemuan akbar yang merupakan kelanjutan tahun lalu itu tak lebih dari proyek kongko-kongko saja? Bercengkerama, bersanjung puja, jalan-jalan ke luar negeri, makan-minum di hotel mewah, melihat-lihat, dengar-dengar, ketawa-ketiwi, lalu kecewa.

Tidak pas juga mengambil perumpamaan orang-orang yang dibuat ngiri dan ngiler oleh pemudik tadi, agar ikut ke Ibukota. Di Jakarta cuma diajak keliling kota, mendengar dan melihat ‘kemewahan’ yang sesungguhnya milik orang lain. Pokoknya adalah cuma buang-buang uang. Kelakuan!

Yah! Mumpung masih dalam suasana Lebaran, ada kesempatan untuk mengucapkan, “mohon maaf lahir dan batik!” n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 31 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Tuesday, October 17, 2006

Perdamaian

APA hubungan bank, orang miskin, dan perdamaian?

Sebentar! Bank dan perdamaian ada kaitannya, terutama dalam penyelesaian tunggakan kredit atau tagihan. Lalu, hubungan bank dengan orang miskin? Jarang orang miskin berhubungan dengan bank. Sebaliknya, bank pasti tak mau berurusan dengan orang miskin.

Sedangkan orang miskin dan perdamaian? Pusing, ah! Apakah orang miskin yang membuat keadaan jadi tidak damai. Atau sebaliknya, orang miskin yang lebih sering berdamai. Lha, kalau orang kaya atau yang tidak miskin lagi? Apa mereka lebih identik dengan kedamaian dan perdamaian?

Komite Nobel Norwegia (NNC) menjawabnya amat ringkas. “Perdamaian abadi tidak akan dapat dicapai, jika masih ada kelompok masyarakat dalam jumlah besar terjerat kemiskinan.” Nah, dengan pertimbangan itu pula, Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada ekonom, sekaligus bankir, Muhammad Yunus, dan Grameen Bank. Ia dinilai mampu mengentaskan jutaan orang miskin dengan cara mengucurkan kredit kepada perempuan-perempuan di Bangladesh lewat skema kredit usaha mikro. Sejak 1976.

Lho, Bank Dunia? Bank yang didirikan 43 negara kaya untuk membantu negara miskin keluar dari jerat kemiskinan. Sejak 1944 atau lebih tua dari Grameen Bank, milik Muhammad Yunus. Dana yang dikucurkan Bank Dunia pun sudah puluhan miliaran dolar AS, jauh lebih banyak dari yang dikucurkan Grameen. Cakupannya bukan hanya perorangan, apalagi perempuan, tapi negara. Programnya jelas dan dipantau ketat. Kok Grameen?

NNC pasti punya jawaban untuk itu. Dan, NNC pasti tidak sedang meledek Bank Dunia, yang realitanya justru membuat negara yang dibantu makin terpuruk dalam kemiskinan dan terjerat utang yang mencekik leher. Negara-negara kaya itu, justru makin kaya –untuk tidak menyebutnya rentenir-- bahkan membuat negara lain tak damai.

Di dalam negeri? Tidak! Komite Nobel itu pasti tidak sedang menyindir Indonesia yang punya segudang program pengentasan kemiskinan. Sejak awal Indonesia merdeka, bahkan. Pemerintah selalu menyediakan anggaran untuk mengentaskan orang miskin. Tahun lalu, jumlahnya Rp 22 triliun. Tahun ini Rp 42 triliun. Tahun depan Rp 51 triliun, yang disebar di 19 departemen.

Indonesia punya Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang sudah berusia seabad lebih. Tanyalah direksinya, pasti ia hafal betul berapa kredit yang sudah disalurkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Juga puluhan triliunan rupiah. Detail, dan tiap tahun selalu meningkat. Labanya saja, tiap tahun bisa triliunan rupiah.

Bank sentralnya, Bank Indonesia (BI), bahkan mewajibkan bank mengucurkan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ada lagi yang namanya kredit tanpa agunan (KTA). Tiap tahun ada pagunya, sampai puluhan triliun rupiah. Dan, tujuannya jelas, untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Tapi, coba datanglah ke bank dan tanyakan KTA. Pasti jawabannya ada, tersedia, dan siap dikucurkan kapan saja. Syaratnya slip gaji –itu berarti calon penerima KTA adalah pekerja. Bunganya, alamaak, di atas 25% setahun. Padahal bunga tabungan saat ini cuma 4%.

Orang kaya? Lupakan! Jangan coba-coba bertanya kepada orang kaya Indonesia, pemilik bank atau pemilik puluhan perusahaan. Pasti ia lebih suka menaruh uangnya di luar negeri. Menurut surat kabar ini, ada 18 ribu orang kaya Indonesia yang menyimpan uangnya di Singapura dalam jumlah Rp 800 triliun. Nilai yang hampir setara dengan dua kali APBN Indonesia.

Stop! Pertanyaan itu pula tak perlu diteruskan, misalnya berapa banyak orang miskin Indonesia yang berhasil dientaskan. Tanya kenapa? Pertama, agar orang yang ditanya tak tersinggung. Kedua, UMKM itu pasti bukan orang miskin papa. Ketiga, ya itu tadi, bank pasti berusaha sekuat tenaga untuk tidak berurusan dengan orang miskin. Bank adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Titik!

Karena itu, pertanyaannya lebih baik ditujukan kepada Komite Nobel Norwegia. Kenapa Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada bankir yang bernama Muhammad Yunus? Bikin malu saja! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 17 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Tuesday, October 10, 2006

Pembangunan Itu

SRI MULYANI tak punya pilihan. Ia dan keluarganya harus tinggal di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta Barat. Rumah petak kontrakan, berdinding dan beratap seng, lembab. Lingkungan tak mendukung, gizi minim, Cahyani (1,5 tahun), anaknya, kena TBC. Delapan bulan terapi, tak sembuh, bobot badan konstan pada angka delapan kilogram.

Cahyani adalah satu dari ribuan balita di ibukota yang kualitas gizi dan kesehatannya buruk. Hingga Agustus 2006, ada 9,253 balita seperti Cahyani, menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta. Inilah yang membulatkan Rini Sutiyoso memeranginya. “Kalau bisa malah enggak ada sama sekali,” kata Rini. (Kompas, Rabu, 5/10)

Tidak ada gembar-gembor berapa besar dana yang bakal diguyurkan untuk memperbaiki gizi dan kualitas kesehatan anak-anak Jakarta. Memangnya siapa Rini? Lain dengan suaminya, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang akrab disapa Bang Yos. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Gubernur DKI Jakarta itu kini tengah menantang arus, membelah jalan, memacetkan lalu lintas ibukota, membangun jalur busway.

Investor Daily (Sabtu, 7/10) memberitakan, Pemrov DKI Jakarta menganggarkan dana Rp 35 triliun untuk membenahi transportasi ibukota. Itu demi membebaskan Jakarta dari kemacetan pada 2010. Lengkap dengan daftar proyek dan nama-namanya, serta rencana dan target penyelesaiannya.

Itulah pembangunan!

Untuk pembangunan pula, ada puluhan, bahkan ribuan triliun rupiah dana yang dianggarkan republik ini. Swasta lebih banyak, dan so pasti dengan dukungan penuh pemerintah. Dukungan kebijakan, politik, dana, bahkan di bawah tangan. Soal dana, tahun ini saja, pemerintah menganggarkan APBN senilai lebih dari Rp 500 triliun. Baik penerimaan maupun belanja.

Anggaran cuma 500, tapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan anggaran bermasalah dan diragukan sebanyak 1.719. (Tentu saja, dalam bilangan triliun rupiah). Rincian anggaran yang diragukan itu, termaktub di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005, antara lain investasi di Bank Indonesia sebesar Rp 130 triliun, penerimaan pajak hampir Rp 350 triliun, penyertaan modal pemerintah pada BUMN mendekati Rp 400 triliun, serta pengendalian dan pencatatan utang luar negeri sebesar Rp 600 tiliun.

Anggaran yang diragukan itu adalah yang di atas Rp 100 triliun. Ada banyak item anggaran yang diragukan yang jumlahnya di bawah Rp 100 triliun. Sebut saja dana bergulir, piutang pajak, piutang BLBI, rekening dana investasi, aset eks-BPPN, aset eks BP Migas. Bahkan, ada uang negara yang didepositokan di bank. BPK menyebut, ada 1.303 rekening dan deposito atas nama pejabat negara senilai Rp 8,54 triliun. Departemen Keuangan ternyata baru mengetahui ada 632 rekening deposito senilai Rp 1,32 triliun.

Itu yang ketahuan. Yang tidak ketahuan, siapa tahu?

Itukah pembangunan? Uang negara dikelola tanpa ada pertanggungjawaban secara akuntansi. Pajak ditarik dari rakyat, lalu dibelanjakan, didepositokan, atau bahkan ditilep. Ketahuan, ada pemberitahuan dari pemeriksanya tetap tenang-tenang saja. Yang penting ada catatannya, meski tak sesuai standar pencatatan (akuntansi).

Di republik ini, anggaran bermasalah atau diragukan sepertinya tak berarti apa-apa. Saban tahun berulang dan berulang. Kecuali ada masalah dengan orangnya, anggaran yang tak bermasalah sekalipun bisa dibuat bermasalah. Orangnya digelandang ke kejaksaan, ke kepolisian, disorot tv, disiarkan radio dan media cetak, lalu dilengserkan. Terbukti atau tidak, itu tak penting. Yang penting orang penting itu sudah lengser dan 'babak belur'.

Di republik ini, ada ribuan, atau bahkan jutaan orang yang kurang gizi, yang kualitas kesehatannya buruk. Yang tak bisa sekolah, yang jatuh miskin, yang terusir dan tergusur atas nama pembangunan, yang menatap langit hampa. Seperti Sri Mulyani, ibu Cahyani, di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta. Bukan Sri Mulyani Indrawati di Lapangan Banteng, Jakarta.

Pembangunan itu adalah proyek, gedung, dan uang triliunan. Kenapa bukan manusia yang sehat dan berakal? n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 10 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Monday, October 02, 2006

Tidur

TIDUR! Puasa di bulan Ramadhan ini memang nikmat, ibadah lagi. Apalagi tidur di siang hari menghalau lapar dan dahaga, menghindari terik mentari yang menyengat. Tidur di rumah, di kantor, di masjid atau mushala, di mana saja. Bangun-bangun menjelang bedug Maghrib, dan es buah plus kolak sudah tersedia. Ah, nikmatnya!

Tak hanya saat puasa, tanpa es dan kolak sekali pun, tidur bisa nikmat. Lewat waktu, lupa masalah, tak ingat tangung jawab. Tapi kebanyakan tidur, kata orang pintar, justru menjadi sumber penyakit. Badan lemas, loyo, tak bergairah, dan gampang terserang penyakit. Penyakit malas, salah satunya. Malas mikir, bahkan malas keluar dari jerat kantuk akibat kebanyakan tidur.

Soal tidur ini, ada dua cerita. Pertama, cerita Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi. Pekan lalu, Perwakilan Jubilee USA Network Debayani Kar datang ke Jakarta. Utusan LSM dari AS itu berkoar-koar agar Pemerintah Indonesia segera mengajukan pemotongan utang kepada kreditor luar negeri, baik bilateral maupun multilateral. Jubilee telah mendaftar 78 negara miskin di dunia, sebagian besar dari Afrika, yang memiliki utang kepada AS, untuk dihapuskan. Kala Indonesia disebut, anggota Konggres AS justru bertanya, “apa Indonesia pernah minta penghapusan utang?”

Di Eropa, ada Eurodad alias European Network on Debt and Development, yang sejak lama lantang meneriakkan penghapusan utang bagi Indonesia. Dia bilang, Paris Club, lembaga kreditor multilateral sebangsa Bank Dunia, IMF, ADB harus melupakan 79% utang Indonesia. Kalau tidak, Pemerintah Indonesia yang melupakan kebutuhan dasar rakyatnya, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial hari tua.

Aneh bin ajaib. Indonesia yang berutang, pihak lain yang resah dan gelisah, berkoar-koar minta penghapusan utang Indonesia yang bejibun –sekitar Rp 2.000 triliun, yang tediri atas utang luar negeri pemerintah US$ 85 miliar, utang luar negeri swasta sekitar US$ 65 miliar, dan utang dalam negeri pemerintah Rp 650 triliun. “Tanya-ken-apa dan kemana pemerintah? Tidur?”

Cerita kedua dari Faisal Basri, yang disampaikan dalam seminar di Sekolah Tinggi Manajemen PPM, Jakarta, Senin (2/10). Seorang pejabat Singapura terheran-heran dengan Indonesia karena sektor riil tidak bergerak akibat kredit tidak mengucur. “Apa Indonesia tak punya dana?” tanya teman dari jiran. Dana ada, tabungan berlimpah, suku bunga sudah turun, tetapi kok kredit tetap saja seret.

Faisal enteng berkata, “Bank-bank di Indonesia tidak terbiasa menyalurkan kredit secara benar.” Itu saja! Selama ini bank-bank menyalurkan kredit kepada pengusaha pemilik bank, kolega pemilik dan bankir, atau atas dasar kongkalikong dengan pejabat. Selebihnya, tidur. Sekarang pun masih nyenyak?

Tidur! Sekali-kali jalan-jalanlah ke mal, telusuri gang-gang sempit di supermarket. Produk-produk luar negeri berbahasa Indonesia berderet dipajang. Kalau diteliti, di kemasan produk kacang goreng itu tertulis made in China. Ada juga minuman jus kalengan, yang bahan bakunya dari Medan, pabriknya di luar negeri. Produk-produk itu sedang dalam proses registrasi di Badan POM, tapi produknya sudah beredar di pasar modern. Selain dari Cina, ada banyak produk dari Singapura, Malaysia, Italia, dan Australia yang sudah dan siap membanjiri pasar Indonesia. “Pemerintah Indonesia? Tidur?”

Tidur pula yang menyebabkan banyak produk luar negeri leluasa menguasai pasar dalam negeri. Tanyalah jeruk Brastagi yang katanya manis-manis kecut. Di Brastagi, Medan, harga jeruk cuma Rp 300 per kilogram, tapi di Jakarta harganya mencapai Rp 10 ribu. Kata orang Jakarta, mending beli jeruk Mandarin, cuma Rp 6.000. Anehnya, harga jeruk Mandirin di Beijing dan di Jakarta, tidak beda.

Sebelumnya, bekas calon wakil presiden Siswono Yudhohusodo pernah cerita tentang keluhan sapi Sumbawa yang biaya angkut ke Jakarta lebih mahal 165% dibanding sapi Darwin, Australia. Juga, biaya angkut satu kontainer dari Batam ke Jakarta Rp 10 juta, tapi ongkos San Fransisco-Jakarta cuma Rp 6 juta. Ini soal sarana dan prasarana alias infrastruktur, yang membuat orang atau siapa saja yang lalu-lalang di atasnya, pulas tertidur.

Itu belum apa-apa. Yang bahaya justru adalah kalau dipuasakan, lalu ditidurkan atau malah dengan akhiran ‘i’. Itulah yang terjadi, persis setahun lalu. Menurut istilah Faisal Basri, pemerintah bertindak seperti drakula yang menyedot darah segar rakyat berupa subsidi BBM, kemudian ditawarkan kepada asing dalam bentuk suku bunga tinggi. Asing berbondong-bondong datang mengisap SBI, SUN dan saham. Rakyat dibiarkan lemas, kurang darah. Antara tidur dan mati! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 3 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Monday, September 25, 2006

Investasi Jablai

SEORANG perempuan menatap cermin. Lama. Kadang pinggulnya dihadapkan, lalu yang sebelahnya. Wajahnya didekatkan, lalu diusap-usap. Rambut, bulu mata, gincu, hidung, pakaiannya diperiksa teliti. Ia merasa masih ada yang kurang. Bisiknya, “Aku harus ke salon lagi!”

Usianya masih tergolong abege. Ia merasa tidak pede. Entah untuk apa dan pada siapa. Yang jelas, ia ingin teman-teman, terutama yang pria memperhatikan penampilannya. Ia ingin mereka memberi komentar sempurna, lalu takluk di kerlingnya. Setiap kali ia merasa cantik, ada saja yang kelihatan lebih cantik. Komentar teman prianya pun tak seperti yang ia harapkan, kecuali yang sudah berumur.

Uang yang diinvestasikan untuk mempercantik diri sudah tak terhitung. Tapi tak ada pula pria yang tertarik. Hasrat ingin dibelai makin menghujam di hati dan pikirannya. Ketika hasrat itu datang, sekujur tubuhnya bergetar, seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya. Siapa saja.

Ada banyak orang seperti itu di negeri ini. Bahkan negeri ini pun demikian. Bolak-balik membenahi diri, tetap saja tidak pede. Gonta-ganti salon, bahkan mengorbankan bagian tubuh yang lain. “Sudah bagus. Penampilanmu kini sudah oke, tapi, maaf, negeri tetanggamu ternyata jauh lebih bagus.” Seorang dari negeri seberang, yang memiliki banyak duit, ketika tiba di sini, menambahkan, “luar biasa! Ternyata yang dia maksud adalah “kalau dilihat dari luar, biasa saja.”

Anak negeri sendiri yang berminat membelainya, seolah mencemooh dengan mengatakan, “apa yang bisa diharapkan dari aturan tenaga kerja yang tidak fleksibel. UU Pajak, UU Investasi, birokrasi, pungli, korupsi, dan kepastian hukum, keamanan, dan macam-macam masalah HAM atau teroris.”

Permak lagi. Adakan diskusi, undang tokoh dari luar. Lalu, para petinggi negeri ini meributkan penghasilan, mirip ‘jablai’ yang memperbisikkan penghasilan dari si hidung belang. Jangankan mau peduli pada demo yang memprotes, atau pekerja yang terkena PHK. Lupa!

Sebuah survei, layaknya kontes kecantikan kelas dunia, digelar. Ternyata benar! Peringkat daya saingnya naik, demikian survei Internasional Finance Corporation dan World Economic Forum. Tapi, maaf, kenaikan yang dicapai negara lain jauh lebih tinggi. “Sedikit lagi. Dan, lebih cepat lagi. Kau harus memperbaiki ini, itu, dan inu! Percayalah, kau memiliki potensi luar biasa. Pada 2025, kau akan jadi primadona. Pada 2050, kau akan mengalahkan negara-negara yang sekarang disebut maju!”

Berkaca lagi, ke salon lagi. Senyum-senyum sendiri. Ada kebanggaan dengan dongeng-dongeng dan pujian itu. Berlenggak-lenggok lagi, menjajakan diri di tempat sendiri, mengharap ada yang datang menawar. Meski cuma datang, lalu pergi lagi. Sedikit yang menanamkan modalnya. Barangkali perlu langsung mendatangi pemodal di negerinya. Duta diutus, cuap-cuap akan kemolekan negerinya. Minyaknya wangi, hutannya rimbun, mulus. Semua gampang diatur. “Pokoknya, dijamin enak deh!”

Keluhan orang-orang asing didengarkan, tapi keluhan riil pengusaha lokal seperti angin lalu. Dengarlah keluhan yang disampaikan Siswono Yudhohusodo, pengusaha yang pernah menjadi calon wakil presiden dalam forum Indonesian Economic and Financial Platform Toward 2025. “Kalau saya membawa seekor sapi dari Sumbawa ke Jakarta, ongkosnya 165% lebih mahal daripada mendatangkan sapi dari Darwin, Australia. Juga, biaya angkut barang dari Batam ke Jakarta mencapai Rp 10 juta per kontainer. Padahal biaya angkut dari San Fransisco ke Jakarta cuma Rp 6 juta.”

Itu adalah persoalan sesungguhnya dari bangsa ini. Tapi apa daya. Begitu hebatnya hasrat ingin dibelai. Hasrat itu makin membuncah, mencacah batas-batas norma. Ya, seperti abege yang jarang dibelai (jablai) itu. n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 26 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN.

Tuesday, September 19, 2006

Kembang Uang

MENJADI kaya itu mulia.” Kata-kata itu bergaung ke seluruh dataran Cina. Deng Xiao Ping menggunakan kalimat itu untuk menggantikan slogan yang sebelumnya dikumandangkan Mao Zhedong dari ajaran Marxis, “sama rata, sama rasa.” Sejak itu, negeri Tirai Bambu itu memangkas habis semua rumpun bambu dan menggantikannya dengan jalan mulus bebas hambatan, pabrik-pabrik, apartemen, perumahan, dan gedung-gedung perkantoran. Miliaran rakyat (negara) Cina berlomba-lomba mengejar kekayaan. Juga kemuliaan?

“Menjadi kaya itu mulia.” Demikian pastor, pendeta dan guru-guru ngaji berkotbah di mana-mana. Mereka mencontohkan Nabi Sulaeman, yang kaya raya. Banyak pula orang yang mengingikuti. Dengan kekayaannya, mereka ikhlas bersedekah, menolong anak yatim dan orang miskin-papa, membangun rumah ibadah, beribadah, dan beramal yang lainnya.

“Menjadi kaya itu mulia.” Banyak orang, dulu dan sekarang, berkata begitu. Mereka pun berlomba-lomba mencari kekayaan dengan cara-cara mulia atau tidak mulia. Dengan kekayaan, ia bisa meraih ketenaran. Masuk koran, majalah, tv, apalagi tercatat sebagai orang terkaya sejagad. Dengan kekayaan itu juga ia bisa membangun rumah mewah, menyekolahkan anak di sekolah mahal, bahkan di luar negeri, membeli mobil-mobil mewah, membeli ijazah lewat jalan pintas, hingga meraih kekuasaan.

Qorun di jaman Nabi Musa --keduanya masih sepupu(?)--barangkali, berkata begitu juga. “Menjadi kaya itu mulia.” Bahkan ia tidak menerima kemuliaan anak pamannya itu sebelum akhirnya ditelan bumi. Sekarang, setiap orang yang mendapat harta tak bertuan dari dalam bumi disebut harta karun. Atau Robin Hood. Hikayat dari Inggris yang terkenal di seluruh jagad ini, bisa jadi menganggap, “menjadi kaya itu mulia.” Sehingga ia silap mata, dan rela menjadi tumbal peradaban. Ia ingin orang-orang miskin bisa jadi kaya, menikmati ‘kemuliaan’ seperti orang-orang kaya.

Rasanya, tak ada yang menyangsikan “menjadi kaya itu mulia.” Oleh karena itu, banyak orang yang mengejar dan meraihnya dengan cara apa dan bagaimana pun. Mulia atau tidak. Dan, banyak orang membelanjakannya dengan cara apa pun pula. Mulia atau tidak. Untuk kenyamanan, keamanan, kehormatan, dan ketenaran. Untuk bergaul dengan orang kaya, sekaligus ‘menggauli’ dan ‘memperkosa’ orang-orang miskin, atau yang tak sekaya ia.

“Menjadi kaya itu mulia.” Tapi tak sedikit pula yang mengatakan, “menjadi miskin itu mulia.” Lalu kata-kata itu dibolak-balik. Bingung dan membingungkan. Antara kemuliaan di kehidupan ini dan setelah ini. Antara kemuliaan dan kehinaan. Antara siapa yang kaya, dan siapa yang miskin. Seperti apa yang terjadi belakangan ini.

Ketika jutaan orang berjuang dalam kemiskinan, mengumpulkan uang recehan, uang logam cepe’-an, di jalan-jalan, di pasar-pasar tradisional, di sekolah-sekolah, di pelosok-pelosok untuk menyambung hidup. Ketika jutaan orang habis-habisan dihantam gempa, disapu badai tsunami, ditimpa tanah longsor, diusir lumpur panas. Ketika negeri ini berteriak miskin, lalu membagi beban kemiskinan itu kepada 220 juta rakyat dalam bentuk kenaikan harga BBM dan harga-harga lain, minta-minta orang asing datang dan berinvestasi, mengutang ke sana kemari. Ketika jutaan rakyat berebut jatah bulanan sebesar Rp 100.000 dari pemerintah sebagai kompensasi BBM.

Dan, ketika ada sebuah pesta pernikahan yang membagikan kembang uang kertas senilai Rp 70.000 dan dibagi-bagikan kepada orang-orang kaya pula. Yang katanya, sebagai simbol penolak bala, sekaligus sebagai harapan agar dalam mengarungi hidup berumah rangga, pengantin dikaruniai rezeki (kekayaan) berlimpah dan survive. Atau, kekayaan memang simbol kembang, yang kelak layu dan mati? Atau, inikah “menjadi kaya itu mulia”?

Mari bertanya pada Sulaeman dan Qorun. n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa 19 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Monday, September 11, 2006

Pengusaha

SELAMAT, Papa! Sekali lagi, Selamat! Papa masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Lembaga yang membuat peringkat itu menyebut harta kekayaan Papa sampai triliunan rupiah. Hebat juga lembaga itu. Saya, yang anak Papa saja tak tahu persis berapa kekayaan Papa. Memang perusahaan Papa banyak dan tersebar di seluruh Tanah Air, bahkan di luar negeri.

Papa! Saya kagum pada Papa. Saya kagum dengan tangan bisnis Papa yang cemerlang, yang penuh dengan ide-ide brilian. Saya kagum dengan kesungguhan, kegigihan, dan kerja keras Papa. Saya lebih kagum lagi, karena ide dan kerja keras Papa itu benar-benar bisa direalisasikan. Ada bank yang percaya, ada orang yang mau bekerja sesuai dengan keinginan Papa, dan produk itu laku bak kacang goreng. Sungguh, saya benar-benar kagum!

Saya kagum dengan cara-cara Papa saat berhadapan dengan para pejabat negeri ini. Birokrat atau aparat, pejabat tinggi atau rendahan. Papa, bahkan bisa dekat dengan partai politik mana pun, dan calon-calon presiden, menteri, bahkan pejabat eselon I hingga IV. Birokrat atau aparat. Tak peduli, dia idola atau bukan; dia calon Papa atau bukan. Beda sekali saat menghadapi bawahan. Bahkan, Papa tak sungkan-sungkan membawakan segelas air putih untuk pejabat yang sedang makan pada acara standing party. Papa bisa menenggelamkan ego, demi sebuah ambisi (bisnis) yang Papa geluti.

Papa benar-benar pengusaha tulen yang sukses. Papa merintisnya dari modal kecil, dari usaha asongan nun jauh dari Jakarta. Pelan tapi pasti, Papa akhirnya bisa seperti sekarang. Lima puluh tahun bukan waktu yang sedikit. Dan, Papa bukan pengusaha yang sedikit-sedikit merengek minta insentif, sebentar-sebentar mengeluhkan kebijakan pemerintah. Papa, selama yang saya tahu, tak pernah mempersoalkan aturan baru yang dikeluarkan pemerintah. Tapi, heran saya, Papa selalu lebih dulu tahu tentang aturan yang akan keluar. Lalu, Papa tahu di mana kelemahan aturan itu.

Dalam bisnis, Papa seng ada lawan. Tak ada angin, tak ada hujan, Papa menginstrusikan anak buah membeli tanah di suatu daerah. Heran! Caranya terserah! Negosiasi baik-baik, menyogok kepala desa, atau mengerahkan preman. Papa memang tidak seperti Presiden AS yang membombardir sebuah negeri dengan ratusan, bahkan ribuah bom, rudal, roket, dan mesiu, serta membunuh ribuan orang dan membuat jutaan orang jadi miskin papa dengan alasan yang tak pernah terbukti, kecuali di negeri itu ada tanah, minyak dan harta kekayaan orang.

Papa pasti tidak seperti itu, meski ada juga yang kemudian melarat atau mati. Papa lebih mirip Raja Midas, karena apa yang ada di tangan Papa pasti berubah dan berbuah jadi emas. Tanah belukar, rawa-rawa, terpencil di pelosok, tak bersurat lengkap, Papa sulap menjadi real estate mewah. Tanah yang dibeli seharga Rp 1.000 per meter persegi, laku terjual dengan harga seribu kali lipat, bahkan lebih. Itu tanah ratusan, malah ribuan hektare.

Papa tahu benar daerah mana yang bakal maju, wilayah mana yang akan dilalui jalan tol, lokasi mana yang kelak jadi kota baru atau pusat bisnis. Inilah kebodohan orang-orang kampung nan miskin itu, sekaligus menjadi kehebatan Papa. Ah, Papa pasti paham betul apa yang disebut Hernando de Soto dengan The Mystery of Capital-nya.

Papa, banyak orang terpelajar dan cerdas, serta kaya di negeri ini. Tapi tak banyak yang bisa seperti Papa. Termasuk saya, Papa!

Jangan marah, Papa! Saya harus jujur pada Papa, dan diri sendiri bahwa saya tak bisa dan takkan mungkin bisa menjadi pengusaha, seperti Papa. Saya pasti tak sehebat Papa. Dalam menjalankan bisnis, membuat konsep dan ide yang brilian, menghadapi pejabat dan aparat, karyawan, wartawan, dan warga yang terusir menjadi miskin dan melarat. Jujur, Papa, saya katakan!

Sekali lagi, jangan marah, Papa! Maaf, kalau saya terpaksa harus jujur pada Papa. Toh masih banyak profesional, orang kepercayaan Papa. Maaf, sekali lagi maaf! Bukan saya tidak mau menjadi orang kaya, masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Bukan pula saya tak suka kemasyhuran. Saya cuma ingin jujur pada diri sendiri. Seperti yang Papa ajarkan. ‘Lihatlah ke dalam. Kalau kau melihat ke luar, kau tak tahu kemana kau melangkah. Melihat ke luar adalah bermimpi. Melihat ke dalam membuat kau terjaga.’

Demikian saja, Papa, surat ananda. Maafkan saya!”

Surat seorang anak kepada pengusaha Indonesia itu tak bertanda tangan, tak bernama. n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 12 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Tuesday, September 05, 2006

Misteri de Soto

BAMBANG membanting koran. Yusuf, tetangga gang sebelah, yang kebetulan lewat, terkesiap. “Ada apa Pak? Koran kok dibanting!” Yusuf, lalu mampir, bertamu.

Bambang tak menjawab, kecuali mempersilakan tamunya masuk dan duduk lesehan di beranda. Ia memungut kembali koran hari itu, Sabtu, 2 September 2006. Di situ terpampang berita; pemerintah akhirnya memutuskan impor beras sebanyak 210.000 ton pada tahun ini. Pada halaman lain, terpampang foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dan Gubernur Kalimantan Tengah yang mantan anggota DPR Teras Narang panen raya di lahan gambut Kapuas, Kalteng.

Masih koran yang sama, ada berita yang menyebutkan, pemerintah menganggarkan dana untuk penanggulangan kemiskinan pada 2005 sebesar Rp 22 triliun. Tahun ini naik menjadi Rp 42 triliun, dan tahun depan menjadi Rp 51 triliun. Anggaran penanggulangan kemiskinan naik terus, tapi jumlah orang miskin juga naik. Tahun ini naik 10% dibanding tahun lalu menjadi 39,05 juta atau 17,75% dari total penduduk 222 juta jiwa. “Lantas kemana larinya dana-dana itu?”

Bambang menyilangkan jari-jemari tangan dan menangkupkannya di ubun-ubun. Tiba-tiba Yudho, anaknya, datang sembari bersiul. “Apakabar, Om? Aku dengar, seru sekali bicara tentang kemiskinan dan orang miskin, Om?” Yudho menyalami tamu dan bapaknya, dan menggamit sebuah buku.

“Buku apa itu Do?” tanya Ucup.

“Ini! Ini buku bagus, dan cocok tentang tema diskusi di sini!” Yudho lalu menjelaskan buku yang baru ia pinjam dari temannya. Ia belum baca, tapi temannya sudah bercerita tentang isinya secara garis besar. Buku yang bercerita tentang orang miskin yang sebenarnya kaya raya. “Tapi dasar orang miskin, ia tak tahu bahwa ia kaya. Di sinilah misterinya.”

Ketika Ucup ingin mengambil buku itu, dengan sigap Yudho ngeles. Sambil menunjuk-nunjuk buku itu, Yudho mengatakan, ada miliaran orang miskin di dunia ini dan 80%-nya tinggal di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis. Mereka rata-rata hidup di rumah dan tanah secara ilegal. Kalau diuangkan, total nilai real estate orang-orang miskin di seluruh dunia yang dimiliki secara ilegal itu mencapai US$ 9,3 triliun.

Dua orang tua itu terperangah. "Sembilan koma tiga triliun dolar Amerika?"

Ya! Jumlah itu hampir sama dengan nilai total semua perusahaan yang tercantum pada 20 bursa saham utama di negara paling maju sedunia; New York, Tokyo, London, Frankfurt, Toronto, Paris, Milan, Nasdaq, dan selusin lainnya. Nilai ‘kekayaan’ orang miskin sedunia itu sama dengan 20 kali total investasi langsung asing (FDI) di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis dalam 10 tahun sejak 1989, 46 kali nilai semua pinjaman negara dari Bank Dunia selama tiga dekade terakhir, dan 93 kali bantuan untuk perkembangan dari semua negara maju kepada Dunia Ketiga dan bekas komunis dalam periode yang sama.

Di Haiti, di Peru, di Filipina, di Mesir, dan di Indonesia demikian juga. Tapi, kata Yudho, sekali lagi, tapi orang miskin tidak tahu. Mereka tidak tahu bahwa di rumah mereka itu ada tambang berlian. Mereka tidak tahu, seperti kata Einstein, tumpukan batu bata sesungguhnya bisa menghasilkan energi atom, seperti yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Mereka tidak tahu bagaimana aset yang mereka miliki itu bisa dikonversi menjadi modal yang bisa membuat mereka kaya raya.

“Orang-orang di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis hanya tahu bagaimana melindungi aset berupa tanah dan rumah, dll. Ia tetap kapital mati. Di Barat, aset itu diolah secara formal dalam dokumentasi yang terus-menerus disesuaikan dengan perkembangan dan diatur oleh peraturan yang terdapat dalam sistem property.”

“Itulah kuncinya!”

“Buku apa itu, Do?” Ucup memiringkan kepalanya ketika Yudho menunjukkan buku The Mystery of the Capital, karya Hernando de Soto itu. Ucup melirik Bambang, lalu berucap, “Oo, Misteri Soto!”

“Kabarmu sendiri, gimana, Do? Sudah dapat kerja?” Ucup, lalu merebut buku itu.

“Belum, Om!” Kali ini, Yudho senyum kecut. Sudah dua tahun ia diwisuda sebagai sarjana ekonomi dari sebuah perguruan tinggi swasta terkenal.

“Ijazahmu itu, property bukan, Do?” kata Ucup, lalu menaruh buku itu setengah dibanting. n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 5 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Thursday, August 31, 2006

Senandung Lumpur

Yudho!” Agak teriak, ibunda menegur puteranya yang menyetel musik terlalu kencang. Yudho asyik menggeleng-gelengkan kepala dan sesekali memukul-mukul meja, seolah menabuh drum, mengikuti irama lagu dari grup musik White Lion.

“Apa kamu tidak dengar, ayahmu dan Pak RT lagi berbincang-bincang di beranda?” sergah ibunda. Volume radio dikecilkan, lamat-lamat ia mendengar perbincangan ayahnya dan ketua RT. Tentang sumbangan warga kepada RT yang seperti tiada henti. Yang rutin, untuk sampah dan keamanan. Yang tidak rutin, untuk mengaspal jalan, Tujuh Belasan. Bulan depan, untuk halal bi halal, THR tukang sampah dan satpam, itu pasti.

“Habis gimana? Justru yang saya takutkan, kalau urusan yang diamanatkan warga tak kita tunaikan.” Ketua RT menerangkan, setiap rencana menarik sumbangan selalu diputuskan dalam rapat warga. Ia juga mengerti beban warga yang terus menggunung akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, biaya anak sekolah, iuran koperasi, biaya telepon, listrik, air PAM, cicilan rumah, pajak bumi dan bangunan (PBB), dll.

“Sebenarnya, beruntung juga kita masih punya rumah, masih punya RT, dan ada yang mengurus. Saya tak bisa membayangkan, warga yang sudah membayar iuran itu tidak diurus.”

Bambang, ayah Yudho, lalu mengalihkan pembicaraan ke nasib saudaranya di Sidoarjo. Hampir 10 ribu warga di enam desa terusir dari rumahnya sendiri, 15 pabrik tutup, 1.873 orang terhenti dari pekerjaan, dan tak terhitung berapa anak yang harus pindah atau bahkan tak sekolah lagi.

Sudah tiga bulan mereka merana disembur 50.000 kubik lumpur panas tiap hari. Sekarang sudah 4,5 juta kubik. Lumpur telah menggenangi lebih dari dua kilometer persegi areal, kalau ketinggian lumpur itu diasumsikan satu meter.

“Pak RT! Di situ kehidupan dan penghidupan mereka, lho! Siapa yang sekarang melindungi mereka? Mereka yang sekarang jadi korban, dan yang sekarang sedang terancam. Mereka kan bayar pajak, PBB minimal,” seru Bambang.

Dalam hal ini Bambang dan ketua RT itu sepakat. Mereka heran, pejabat teras pemerintah bolak-balik ke Sidoarjo, tapi lumpur mengucur terus bak air mancur. Yang diurus, bagaimana mengalirkan lumpur yang menggenangi rumah. Yang diusut, petugas Lapindo di lapangan. Tapi apa upaya menyetop semburan lumpur agar tak makin membahayakan?

“Ini sudah 90 hari, lho, Pak RT!” Pak Bambang merasa seolah-olah menjadi salah satu korban. Ia bisa merasakan susahnya ‘kehilangan’ rumah, pekerjaan dan tak mampu melindungi anak-istri. Ia juga membayangkan, betapa jutaan keluarga Indonesia berusaha mati-matian untuk memiliki sebuah RSSS alias rumah sangat sederhana sekali. Nyicil belasan tahun, demi anak istri. When the children cry...

Matanya melotot saat ketua RT menyebut tanggung jawab Lapindo. Gaya bicaranya, acting-nya saat berbicara, kadang seperti tokoh nasional yang ikut membuat seruan agar pemerintah segera turun tangan. Bahwa Lapindo harus bertanggung jawab, itu satu hal. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana melindungi warga yang jadi korban, dan warga yang akan jadi korban lumpur panas dan ganas itu. Warga yang bayar pajak. Sekarang warga Porong tergenang lumpur, dan lumpur itu sedang mengancam warga Sidoarjo lain.

Pemerintah sedang kesulitan dana, siapa yang tak tahu. Tapi kesulitan pemerintah masih mending dibanding kesulitan dan derita korban, serta rasa was-was warga sekitar tentang kemungkinan amblesnya bumi Sidoarjo. Rusaknya infrastruktur di daerah itu, jembatan, jalan, jaringan listrik, telekomunikasi, rumah, dan bangunan. Bagaimana kalau musin hujan tiba? Kehidupan dan penghidupan warga juga terancam. Sekarang saja, ada yang memperkirakan nilai kerugian akibat semburan lumpur itu sudah mencapai Rp 33 triliun.

Kenapa pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab, terutama untuk menghentikan semburan lumpur. Demi rakyat! Lapindo diurus nanti. Ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan untuk penghentian semburan lumpur bisa dituntut kelak kepada Lapindo. Warga yang jadi korban harus diurus dan diperjuangkan pula. Bila ada unsur pidana, bisa diusut kemudian oleh pihak berwajib.

“Hey, Pak RT! Pemerintah kerja keras mengejar pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi, menggenjot ekspor, dan segala macam itu, untuk apa sih? Kita kan sering dengar di pidato-pidato pejabat. Itu kan untuk kesejahteraan kita-kita ini, rakyat Indonesia, termasuk yang di Sidoarjo? Moto Presiden dan Wapres kan, kita tahu semua, Bersama Kita Bisa!”

Dari balik biliknya, Yudho manggut-manggut. Sebuah perbincangan hebat telah ia dengarkan. Mirip perbincangan di warung kopi yang beberapa waktu lalu ia dengar. Klasik. Cuma omong-omong doang. Tidak ada solusi. Tidak kongkret. Ia lalu memilih ganti kanal, mendengarkan musik dengan volume terbatas untuk bilik ukuran tiga kali tiga. Lamat-lamat terdengar lagu lawas dari White Lion, When the Children Cry, disenandungkan.

No more presidents
And all the wars will end
One united world
under god


n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 29 Agustus 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Wednesday, August 23, 2006

Anggaran Baru

LIBUR telah usai. Plus cuti bersama, lumayan, ada lima hari.
Yang tersisa adalah perbincangan seputar pidato itu. Ada pula yang meributkan tentang angka-angka yang disampaikan. Data, fakta, prediksi, target, dan segala macam angka dikritisi. Mirip diskusi para penggila togel.

Tuesday, August 15, 2006

Berani Merdeka

INI tentang keberanian. Mungkin juga bukan. Di saat memeringati kemerdekaan (rakyat) Indonesia dari belenggu penjajah. Di tengah malam, saat berjuang membebaskan diri dari kantuk. Otak di batok ini selalu terantuk perasaan sendiri. Berani malu?

Tuesday, August 08, 2006

Indonesia Raya

SUDAH belasan tahun, barangkali lebih, tak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pas ngantar anak sekolah, pas telat pula. Upacara bendera telah dimulai. Pagar sekolah telah dikunci. Terpaksa menemani anak menunggu di luar pagar. Lamat-lamat terdengar anak-anak SD menyanyikan lagu Indonesia raya...

Tak tahulah anak-anak SD itu. Dari balik pagar, mereka terlihat berbaris tak rapi. Ada juga yang sikut-sikutan. Bisik-bisik. Badan sedikit digoyang-goyangkan. Anak kelas IV SD yang ada di samping tiba-tiba menyikut dengan sikunya. “Emangnya Indonesia mau mati, Yah?”

Monday, July 31, 2006

Bursa Pengangguran

SUDAH.Tidurlah, anakku!” Ibunda mencoba menenangkan hati anaknya. Tapi si anak tak juga bisa tenang, apalagi tidur. Mata terpejam, tapi pikirannya terus melanglang buana. Sudah setahun diwisuda, selama itu pula ia menganggur. Empat tahun ia habiskan waktu di bangku kuliah, selama itu pula ia mengeruk kocek plus tabungan hari tua bapaknya di Jamsostek.
Giliran Bapak diajak tidur. Di tempat tidur, Ibunda tak juga lelap. Ia tak juga bisa membuka mulut, tentang keluh-kesah anaknya. Mata terpejam, tapi pikirannya melanglang buana ke masa silam.

Waktu itu, Bapak melenguh, seperti sapi dicucuk cingurnya, setiap diajak urun rembuk soal keinginan anaknya kuliah. Biaya kuliah per semester yang Rp 3 juta, okelah. Tapi uang pangkal yang Rp 15 juta itu, darimana?

Monday, July 24, 2006

Ilmu Ekonomi

TANYALAH soal hidup bahagia. Apa, bagaimana dan di mana itu. Kepada orang kaya atau miskin, pejabat-rakyat, direktur-penganggur, agamawan-sastrawan-maling dan kawan-kawan. Pasti jawabnya berbeda. Atau siapa saja, aku, kau, atau dia. Keluarga, selingkungan warga, marga, atau negara.

Tuesday, July 18, 2006

Menabung

Dia baru saja naik kelas IV SD. Seperti kenaikan kelas pada tahun-tahun sebelumnya, ia merayakannya dengan membuka celengan. Hasilnya Rp 2.250.000. Biasanya, uang tabungan itu habis untuk membiayai sekolahnya sendiri. Mulai dari buku dan seperangkat alat-alat tulis, seragam, tas, dan sepatu. Semuanya baru. Sisanya untuk jajan, main di timezone, atau membeli mainan.

Kali ini, seluruh keperluan itu telah terpenuhi. Sehingga seluruh uang hasil menabung selama setahun itu idle. Gadis kecil itu bingung dan mulai berangan-angan.

Wednesday, July 12, 2006

Ruang Koperasi

SABTU besok, Pulan mau ngecor atap rumahnya. Dia sudah nyewa mesin molen, dan dua orang tukang becak. Cuma enam kali enam meter persegi, kok!”

Kalimat itu meruang dan terus meraung dari telinga ke telinga warga pada setiap perjumpaan, di tempat-tempat nongkrong, diselingi perbincangan tentang kekalahan tim sepakbola tuan rumah, Jerman, atas Italia–yang kemudian menjuarai—pada Piala Dunia 2006. Mereka pun mafhum, dan “Oke aja. Tapi ada gule, kan?”

Seperti iringan semut menggotong sebutir gula pasir, para warga berbaris estafet, menggiring ember-ember adonan cor ke atap rumah. Derak sekop dan bising mesin molen seirama dengan desis adonan cor meluap ke bak penampungan. Harmoni dengan kecipak batu split dalam lumpur semen dan pasir, gendang parau ember yang beradu, serta desah nafas kuli gadungan. Yang di bawah melagukan “ember!” bersaut dengan senandung, “adukan!” dari yang di atas.

Pemandangan itu bukan di sebuah desa di Bantul, yang luluh-lantak oleh gempa bumi, yang merana oleh janji bantuan. Tolong-menolong dan gotong royong itu ada di pinggiran Jakarta, di komplek perumahan. Sebuah rutinitas week end selain acara keluarga. Kerja bakti, membantu tetangga hajatan atau terkena musibah. Lalu, es orson atau es teh manis menyirami tenggorokan. Nasi, tahu, tempe, ikan asin, lalapan, plus sambel trasi terhidang. Bukan gule.

Tuesday, July 04, 2006

Garuda Menanti

Rupanya melamun juga ia. Kehilangan tahta, terusir ke hutan ringan saja buat dia. Tapi kehilangan istri membuat ke-manusia-annya hidup. Marah, kesal, putus asa.

Monday, June 26, 2006

Batam Forever

ADA tiga orang sahabat. Mereka bersepakat jalan-jalan keliling dunia, melihat panorama alam ciptaan Ilahi. Mereka berasal dari Jakarta, Singapura, dan Batam. Titik pemberangkatan disepakati dari Batam, yang terletak antara Jakarta-Singapura.

Monday, June 19, 2006

Bibir-bibir (di) Manado

SETIAP kali bertugas ke Manado, teman menyarankan agar mencicipi bubur Manado.


Dan, tuan-tuan dan puan-puan yang terhormat itu masih terus memainkan bibir (cuap-cuap)di Manado. n

Tuesday, June 13, 2006

Angan-angan Pegawai

Bimbang ia, dan masih memegang remote control, duduk di kursi malas. Ketika pertandingan sepak bola Belanda vs Serbia Montenegro memasuki setengah main, istrinya menangkupkan telapak tangan kirinya ke jari telunjuk kanan yang mengacung. Time out! Dan, layar tv 14 inci itu pun gelap.

“Mulai tahun depan, saya mau ngumpulin ibu-ibu untuk arisan dan....”

Monday, June 05, 2006

Bencana di Atas Bencana

ALKISAH. Gunung Galbugazar memuntahkan lahar. Ribuan warga Kerajaan Nabugalazar terusir ke tenda-tenda. Harapan panen raya pun musnah sudah. Bantuan datang dari mana-mana. Pangeran dari negeri tetangga yang diutus minta sekar kedaton sebagai balas jasa atas bantuan mereka.

Sultan bingung, tapi Puteri-nya tidak. Ia tetap berjalan dari tenda ke tenda menyalurkan bantuan dari istananya, juga dari negeri jiran. Ia tak putus-putus membelai dan menyemangati para korban. Sendiri atau bersama para pangeran dan pengawalnya dari negeri jiran yang diutus.

Monday, May 29, 2006

Tenda Biru Yogya

GEMPA lagi. Kali ini meluluhlantakkan Yogya dan sekitarnya. Kabupaten Bantul yang paling parah. Ribuan orang terkapar, tak bernyawa atau luka parah. Ribuan bangunan ambruk, tinggal puing atau dinding. Ratusan ribu orang tak berani tidur di dalam bangunan. Mereka memilih di tanah lapang beratapkan langit, berdinding dingin, di halaman rumah sakit atau di padang rumput. Dalam derai hujan, mereka mengeluh dan berteriak tentang ketiadaan tenda.

Aku terkesiap. Nama kaumku, Tenda, diseru. Tak pernah dalam sejarah, kaumku mangkir dari tugas. Karena memang demikianlah semboyan kaumku. “Dari manusia untuk manusia!” Kami selalu menaungi manusia dalam suka maupun duka.

Monday, May 22, 2006

2050

GOOD morning, sir!” Seorang OB alias office boy menyapa. Staf kantor yang bukan bosnya itu berlalu, cuek, dan sempat-sempatnya bilang, “kopi, please!”

Di kantor, di rumah, di perjalanan, di warung, apalagi dalam perbincangan bisnis, di Tanah Air ini, semua dalam bahasa asing, meski campur-campur. Merek produk, mulai dari pakaian dalam hingga elektronika, asing. Reklame, nama gedung dan kantor, tak terkecuali. Perusahaan asing dan lokal tak lagi bisa dibedakan. Sama. Sembilan puluh sembilan persen –untuk tidak mengatakan seluruhnya-- dalam bahasa asing.


Ini 2050. Indonesia tak lagi mengenal demo buruh yang menuntut kesejahteraan. Juga tak ada lagi unjuk rasa menentang rancangan undang-undang. Mahasiswa tertib, rapi dan tak lagi turun ke jalan.

Telepon berdering. Seorang minta segera ketemu. “Ok! I’ll be right there in 30 minutes!” Berkemas. Mobil sport itu menderu dan tancap gas.

Di perbatasan Jakarta, petugas imigrasi selalu berjaga-jaga. “Your pasport, sir!

Kasak-kusuk membuka tas, dan laci. “Waduh, lupa, sir!” Dalam benaknya, bakal batal janjinya bertemu seseorang di negeri jiran, yang jaraknya cuma 30 km dari Jakarta, Indonesia.

Sejurus kemudian, orang berseragam datang. “Pak, teleponnya, tuh, berisik!” seru OB yang tadi membuatkannya kopi.

Dering telepon berlalu mengiringi kepergian lamunannya yang membuai. Tentang Indonesia yang tinggal Jakarta. Tentang 2050. n rizagana

Monday, May 15, 2006

Minyak

MINYAAK! Teriakan pengecer minyak tanah di gang-gang di Jakarta nyaris tak terdengar lagi. Banyak orang sudah beralih ke gas, barangkali. Tapi gerobak minyak masih berseliweran, dengan tenaga manusia atau sepeda motor. Suara gerobaknya khas, se-khas teriakan penjajanya. Minyaak!

Tuesday, May 09, 2006

Pertamax Plus Minus

WAKTU hujan sore-sore. Belasan anak bermain bola. Memanfaatkan lapangan parkir di belakang Rumah Sakit Agung, Manggarai, Jakarta. Bertelanjang dada, tak peduli hujan. Adu cepat, adu ketangkasan menggiring si kulit bundar. Lalu bersorak, berpelukan, dan mengacungkan kedua telunjuk meniru gaya Thiere Henry sehabis memasukkan bola ke gawang lawan. Gool...!

Ada kebanggaan buat si pencetak gol dan timnya. Sah-sah saja bila bermacam-macam cara mereka lakukan untuk merayakan sebuah gol. Belum tentu menang, memang. Tapi untuk sebuah hasil kerja sama tim, buah persaingan. Setelah melewati rintangan gelandang, back, dan kiper serta gawang yang berukuran dua meter dengan batas atas yang tergantung tinggi badan dan jangkauan kiper.

Ada sikut-sikutan, juga upaya menjegal. Pelanggaran yang masih bisa dimaafkan, meski tanpa wasit. Lawan pun menerima sambil ‘mengancam’ dengan gol balasan. Pelanggaran berat nyaris tak ada, kecuali bermain di lapangan parkir yang membuat pemilik kendaraan was-was. Selebihnya, adu keterampilan, tes fisik, dan uji nyali. Penonton, termasuk fans yang kalah pun legowo.

Terbayang saat mereka dewasa. Bermain bola di Gelora Bung Karno atau di ‘lapangan’ kehidupan lainnya. Saat belajar, mencari kerja, berkarier. Menjadi pemimpin atau pemilik perusahaan. Tak terdengar desis si Pulan menghadapi diskriminasi sejak melamar kerja, menerima upah, hingga menjalankan bisnis sendiri. Semoga, kelak ada lapangan buat mereka.

Di lapangan birokrasi dan politik, bahkan.

Tuesday, May 02, 2006

May Day... May Day...!

Kali ini, mereka tak lagi bisa berteriak. Giliran media massa menyambut dan menjadi corong. Televisi, radio, koran seperti berulang-ulang meneriakkan May Day... May Day...! Tapi dimana....

Tuesday, April 25, 2006

Belajar dari Sekolah

Jerapah sedang sial. Mendadak tuannya berkunjung ke sekolah yang ia pimpin. Pas hari libur. Pas sekolah itu belum dibersihkan. Kotor dan tak terawat.

Tuesday, April 18, 2006

Kesini, Oh!

Usianya masih belasan tahun, ketika tentara penjajah, Jepang, merekrut ribuan atau bahkan ratusan ribu remaja puteri pribumi untuk disekolahkan di Jepang atau Sonantho (Singapura). Kelak, mereka berguna bagi pembangunan negerinya. Tentara propaganda Jepang (Sendendu) minta para pangreh praja, mulai dari wedana, bupati, camat, lurah hingga RT untuk memberi contoh kepada rakyat.

Ada yang senang. Tidak sedikit yang terpaksa, tak kuasa menolak. Jabataan atau bahkan nyawa taruhannya.

Tuesday, April 11, 2006

Pemimpin Lewat


Suami ibu muda ragu melangkah. Surat rujukan dari Puskesmas dipegangnya erat-erat. Sesekali ia membayangkan Rumah Sakit yang bakal dituju dan kantongnya yang cekak. Anaknya yang baru berusia dua tahun dua bulan terkulai lemas dalam gendongannya.

Kecemasan atas derita anaknya menyapu keraguannya melangkah. Sesampai di rumah sakit, petugas menyatakan tak ada tempat. Bangsal penuh. Ia pulang dengan tetap memegang erat surat rujukan puskesmas dan menggendong Anaknya. Ia menggenapkan kasus serupa: gizi buruk akibat kemiskinan dan tertolak rumah sakit.

Tuesday, April 04, 2006

‘Persedongkolan’ Buruh

I like Monday. Apa boleh buat. Apalagi harus berangkat pagi. Sepeda motor harus bekerja lagi mengantar tuannya. Menyusuri lorong-lorong jalan yang terbentuk oleh deretan mobil, angkot dan bus serta truk. Seperti bersekongkol, tak sedikit pula yang bergerombol, nekat mengambil jalur berlawanan arah.

Ada perasaan kolektif dari pengendara roda dua. Sepanjang ada jalan yang bisa dilalui –dan selagi tak ada larangan dan petugas-- tak apa diterjang. Trotoar yang menjadi hak pejalan kaki, jembatan penyeberangan, menyenggol kaca spion mobil orang, atau bahkan menunggu lampu hijau selepas marka. Bagi mereka yang umumnya adalah karyawan, blue and white collar, berarti memulai aktivitas ‘lagi’ setelah libur panjang di akhir pekan.

Persekongkolan dan sejenisnya bukan cuma menyangkut perasaan. Ia juga bukan monopoli pengendara motor. Pun tidak melulu di jalan, melainkan bisa terjadi di pasar atau di kantor, di gedung pencakar langit, di departemen, di istana. Bahkan bisa antarinstansi, lintas partai politik.

Tak Tertolong

Belasan moncong ikan menjulur ke pemukaan air di kolam depan rumah. Tak peduli tuannya tengah asyik dengan selembar brusor. Bak parade moncong, mereka berunjuk rasa. Ikan mas itu, sejatinya, tak menuntut mesin pompa air dihidupkan, melainkan hidupnya.

Menghidupkan mesin pompa air, berarti membantu kehidupan ikan. Kesenangan ikan berarti menjaga kesenangan si empunya. Masuk akal! Tapi selembar brusor yang diperoleh dari sebuah pameran buku itu mengganggu kesenangan ikan –dan si empunya-- siang itu.

Tuesday, March 21, 2006

Hello, Moderen

Puluhan lembar tisu tak juga menghentikan aliran air dari lubang hidung. Bersin tak pula bisa reda, meski badan telah diselimuti kemul tebal. Niat menyaksikan konser tak kesampaian. Padahal pas masuk gratis sudah tersedia.

Wednesday, March 15, 2006

Ekonomi Ungu Violet

Lagi seorang fotografer, termenung sendiri. Ia memikirkan yang ramah dan penuh senyum sambil menyodorkan tiket bus. Bola matanya yang berbinar, tinggi lumayan, dan senyumnya membuat orang tak berkedip. Langkahnya seperti berjinjit, berlenggak-lenggok, dan mantap menapaki catwalk. Pongah di hadapan puluhan pasang mata pria dan wanita.

Tuesday, March 07, 2006

Pengemis Bermangkuk Emas


Sedan mewah itu terpaksa mengerem mendadak di perempatan Tomang. Traffic light baru saja berganti kuning. Belum merah. Biasa. Sopir-sopir yang biasa lewat di situ, pasti tahu. Daripada kena semprit, mending berhenti semasa kuning. Menunda waktu perjalanan barang 10 menit tak apalah, daripada mengemis agar tak ditilang polisi

Friday, March 03, 2006

Buruh pun Tahu

Asap rokok berbaur menemani canda dan tawa. Di dalam sebuah angkutan kota, angkot. Dari baju seragam yang mereka kenakan, tertulis nama sebuah pabrik. Lupa beban hidup yang menggunung. Abai dengan orang lain se-angkot, pelajar dan ibu-ibu, yang mengibaskan tangan sambil membuka jendela lebar-lebar, menghalau asap.

Yang penting happy. Saking gembiranya, mereka lupa, tempat penghentian yang dituju sudah terlewat. Mereka sontak, kompak berteriak, “Stop!” Lalu masing-masing mengeluarkan uang seribuan. Mereka bergabung dengan rekan sekerja lain yang berjalan kaki, bergerombol menuju pintu gerbang pabrik.

Tuesday, February 21, 2006

Sadar juga!

Tega nian! Tapi kemudian ia berbisik, atau ada tujuan lain. Berebut. Pemenangnya bisa dipastikan asing.

Nah! sadar juga, ternyata.

Monday, February 20, 2006

Premanisasi

Di jalan-jalan, di pasar, di warung-warung, di tempat-tempat nongkrong, kalimat sejenis sering kita jumpai. “Itu bukan urusan gue. Elo urus aja sendiri.” Bahkan, kalimat dengan nada mengancam pun ada, semisal, “Emang elo mau apa!”

Tuesday, February 07, 2006

Logika BUMN

Suara sumbang itu makin parau didendangkan. Memercayainya identik dengan tertulari logika idiot atau logika keledai dalam menangani perusahaan plat merah.

Friday, February 03, 2006

Korban Lagi

Tiba-tiba isu formalin menggelegar. Ia menghantam bisnis makanan dan minuman yang ditekuni banyak orang.

Tuesday, January 24, 2006

Teman Kabur

Inilah cara gampang membuat kabur para tersangka, terdakwa, maupun terpidana kasus-kasus hukum. Kabur dalam arti melarikan diri atau kabur dalam arti buram atau tidak jelas sepanjang proses peradilannya. Mulai dari proses pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan di kejaksaan atau kepolisian. Dakwaan jaksa penuntut umum yang dibuat lemah, vonis hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan, kasus dipeti-eskan atau mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) hingga kasus yang tidak diproses-proses.

Wednesday, January 18, 2006

Proposal Utang

HARI INI, beberapa pemegang kartu kredit pasti telah menerima Catalog belanja. Segala macam barang ditawarkan berikut harga dan besaran cicilan yang disesuaikan dengan jangka waktunya. Ada juga iming-iming tanpa bunga. Intinya, pemegang kartu kredit diajak belanja, berutang.

Sepekan terakhir ini, mereka juga sibuk menerima tamu dari Jepang, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan entah dari mana lagi. Yang dibicarakan seputar rencana pinjaman baru pada tahun ini yang akan dibahas dalam pertemuan yang dijadwalkan berlangsung Maret 2006.

Friday, January 13, 2006

Demang

Profesor ekonom senior miris dengan bencana alam yang terjadi belakangan ini, yang merenggut ratusan jiwa itu. “Dulu juga ada bencana alam, tetapi tidak sebanyak ini." kata dia.

Tuesday, January 03, 2006

Kesunyian Ia

Ia merasa sunyi, sendiri dalam ‘perang’-nya. Musuhnya yang bernama korupsi malah memiliki segerombolan kawan, segudang kapital, segunung dukungan politik dan kekuatan yang siap melancarkan serangan balik.

Serangan balik itu dilancarkan manakala mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya. Serangan balik itu bisa berupa pernyataan atau tindakan. Ia bisa ditujukan kepada institusi pemberantasan korupsi, atau bahkan kepada personalnya.