Tuesday, August 17, 2010

Kibarkan Bendera

Siang tadi, Selasa, 17 Agustus 2010, anakku mengingatkan.


“Yah, kita nggak pasang bendera?”


“Emang kenapa?”


“Tetangga yang lain sudah pasang bendera sejak kemarin.”


“Oooo iya, ya. Sekarang 17 Agustus. Hari Kemerdekaan Indonesia. Ayah lupa!”


Acara liburan pun dilanjutkan dengan aksi membersihkan kolam ikan. Sekelebat itu pula, aku masuk rumah, menuju kamar dan membuka lemari, mencari kain bendera yang sudah setahun tersimpan.


“Tapi kita nggak sendiri kok, Yah. Banyak tetangga yang di belakang rumah kita nggak pasang bendera.”


“Ya. Mungkin mereka lupa juga. Karena puasa, juga karena tahun ini tidak ada acara perlombaan di RT kita. Tumben.”


“Yang parah. Tadi pagi, Yah. Aku lihat di TV. Pas upacara bendera di Papua. Pasukan pengibar benderanya salah. Pas bendera dibuka untuk dikerek naik, ternyata putih di atas merah di bawah. Untung pasukan pengibar benderanya sigap, dan langsung membaliknya sehingga bendera merah putih tetap berkibar.”


“Busyet. Parah banget! Zaman dulu, hal itu tak akan terjadi, meski bulan Puasa.”


“Lagian, apa sih Yah, maksudnya kita pasang bendera pas 17 Agustus? Cuma untuk memperingati Hari Kemerdekaan, ya?”


Ah. Puasa-puasa begini, aku disuruh mikir oleh anak ingusan yang baru berusia 11 tahun. Dijawab salah, tidak dijawab salah. Apalagi dia menggunakan kata ‘cuma’.


Pengen juga rasanya memberi tahu anak itu dengan slogan-slogan klise semasa perjuangan dulu, seperti yang tertuang dalam pidato-pidato saat menaikkan dan menurunkan bendera. “Tapi, dia pasti sudah tahu selama ini di bangku SD, yang sudah dijejaknya selama lima tahun....”


Aku masih bergumam, ketika terdengar suara pedas mendesak gendang telingaku.


“Harusnya orang-orang Indonesia mulai mengibarkan bendera merah putih di seluruh dunia. Jangan di negeri sendiri, di rumah sendiri.”


“Gila...!”


Aku tak mengeluarkan suaraku, tapi mataku menatap tajam mata anak ingusan itu.


“Dari mana kau mendapatkan kata-kata itu?”


Aku tetap tak bersuara, kecuali dalam hati. Dan, mataku mulai merunduk, demi tak berdampak pada si anak. Pikiranku teringat pada beberapa waktu lalu ketika kapal perang Malaysia masuk wilayah Indonesia, yang kemudian terulang lagi menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-65. Bahkan tiga orang Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia dengan menerobos Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tiga orang itu ditangkap karena menangkap kapal nelayan Malaysia yang masuk wilayah NKRI.


Tapi pasti bukan itu yang dimaksudkan si anak ini.


“Maksudmu, mengibarkan bendera merah putih di Piala Dunia Sepak Bola, seperti Juni (2010) lalu. Atau dalam ilmu pengetahuan, semacam kompetisi komputer, matematika, robot, dan Olimpiade Fisika, gitu?”


“Ya, gitu deh. Tapi pemimpin kita juga harus berani tampil di forum-forum internasional. Kalau ada kapal Malaysia nyelonong masuk ke wilayah Indonesia, kita harus berani. Kalau orang asing terus-terusan masuk dan melanggar wilayah kita, hajar saja. Tidak hanya dengan Malaysia, tapi dengan negara lain, termasuk Australia. Itu kan mengibarkan bendera merah putih juga.”


“Gile ....!”


Aku masih tak bersuara. Karena aku takut, jangan-jangan anak yang belum baligh itu juga tahu tentang rumor yang beredar di Malaysia tentang kenapa aparat keamanan Malaysia sampai menangkap tiga orang Indonesia itu.


Daripada membicarakan rumor, lebih baik aku meneruskan tugas weekend bersama anak-anak, dan kemudian memberi komando agar ikan-ikan di kolam segera dikeluarkan dan kolamnya langsung disikat sebersih-bersihnya.


“Ayah mau masang bendera dulu, ya!”



Friday, July 30, 2010

Tiga Cerita


Hari ini, Jumat (30/7/2010), ada tiga cerita.


Cerita pertama tentang larisnya mobil mewah di ajang pameran The 18th Indonesia International Motor Show (IIMS) yang tengah berlangsung (23 Juli - 1 Agustus 2010) di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta. Mobil-mobil mewah yang berharga di atas Rp 2 miliar habis terjual. Orang Indonesia rupanya banyak juga yang kaya.


PT BMW Indonesia, agen tunggal pemegang merek (ATPM) BMW memajang mobil-mobil mewahnya, seperti X5M seharga Rp 2,2 miliar (off the road), Seri 730 Li (Rp 1,49 miliar) dan Seri 535i Gran Turismo seharga Rp 1,39 miliar.


Mercedes Benz (Mercy) tak mau kalah. Mobil Mercy SLS AMG yang dibanderol Rp 4,7 miliar laku empat unit. Viano 250 (Rp 1,2 miliar) dan E250 CGI Cabriolet (Rp 1,009 miliar), bahkan telah terjual sebanyak 100 unit. Audi, lewat PT Garuda Mataram Motor (GMM), menjual tiga unit Q7 seharga Rp 1,7 miliar. Audi R8V10 yang dibanderol Rp 5,3 miliar laku dua unit.


Cerita kedua tentang kedatangan tamu dari jauh. Indra Azwan, yang datang dari Malang, Jawa Timur, tanpa berkendara. Ia berjalan kaki. Dua puluh dua hari lamanya.


Sehabis subuh, ia berangkat, dan beristirahat bila sudah pukul 21.30. Di pundaknya ada bekal. Tak banyak. Cuma lima stel pakaian dan dua pasang sepatu. Tapi berjalan kaki sejauh 800 kilometer adalah pengalaman yang amat mengerikan, sekaligus amat mengesankan.


“Dua kuku kakiku hampir copot. Kulit kaki sudah kapalan,” kata Indra Azwan kepada wartawan. Ia sudah sampai di Jakarta. Tapi ia masih ingin terus berjalan.


“Saya akan terus jalan minta keadilan."


Ia ingin bertemu Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia ingin berkeluh kesah tentang perjalanan hidupnya, tentang kematian anaknya, Rifki Andika, yang ditabrak oknum polisi hingga tewas.


Kejadiannya berlangsung pada 1993. Namun, karena yang menabrak Kompol Joko Sumantri, kasusnya tak diproses-proses. Baru pada 2008, setelah 15 tahun, kasus itu disidangkan dan hakim pengadilan pun membebaskan Kompol Joko Sumantri dari segala dakwaan. Alasa hakim, kasus tabrakan yang merenggut nyawa Rifki Andika pada 1993 itu dianggap sudah kadaluarsa.


Pada 2009, Indra pernah pula datang ke Jakarta, dan melakukan aksi mogok makan di Monas. Tapi, aksi yang dekat dengan Istana Negara itu bergeming. Kali ini, Indra ingin bertamu pada SBY dan berkeluh kesah. Akankah keadilan menghampirinya?


Entahlah. Pada Jumat (30/7), SBY sedang merayakan hari ulang tahun perkawinannya di Istana Negara, Jakarta. Pada malam harinya, acara itu akan dilanjutkan dengan tumpengan di kediaman pribadi SBY di Cikeas, Bogor.


Cerita ketiga. Ini juga rada membuat miris. Seorang anggota DPR, yang juga artis Pong Harjatmo mendadatang naik ke atap gedung Kura-kura DPR yang berwarna hijau. Bak pemanjat tebing mahir, Pong mengantongi cat pilok.


Setelah di atap gedung itu, pria kelahiran Solo, 13 September 1942 itu langsung mengeluarkan cat pilok itu dan mulai beraksi menuliskan kata-kata yang sudah menghujami hati dan pikirannya. “Jujur, Adil dan Tegas.”


Pong tentu tak sedang disuap Indra Azwan agar memperjuangkan keadilan bagi anaknya. Ia juga tentang tidak sedang membintangi film “Bernafas dalam Lumpur” seperta pada 1970. Atau, pri yang pernah menjadi tentara ini sedang melanjutkan episode dari film terbarunya (2009) berjudul ‘Sang Pembela’.


Pong kecewa dengan teman-temannya sesama anggota DPR yang tidak bisa menyelesaikan masalah Bank Century, tabung gas yang mudah meledak, dan masih suka dan banyaknya anggota DPR yang bolos.


Tuesday, March 02, 2010

Capek Deh!

"Akhirnya kau tergolek juga di bangsal rumah sakit. Sakit juga kau!"

Seorang teman menepuk bahuku, dan menyeringai, melepas tawa. Ia menyempatkan diri mampir ke rumah sakit yang lebih mirip hotel bintang lima itu.

"Sakit apa kau!"

"Sudah sembuh, sih. Cuma capek badan ini, rasanya."

"Kenapa capek? Kayak ngurus negara saja, kau!"

"Salah kau. Yang ngurus negara itu justru tidak capek. Kita-kita ini, yang rakyat ini, yang capek."

"Lho kok bisa?"

Kawanku ini salah seorang pemerhati perpolitikan di Tanah Air. Kadang-kadang, ia menyebut dirinya sebagai tokoh politik nasional atau tokoh nasional. Padahal, tak ada jabatannya di partai politik. Ia dulu pernah menjadi salah satu staf humas dari partai politik. Itu pun partai politik gurem, yang kemudian lenyap setelah pemilu karena tersapu batas minim suara alias electoral treshold.

Aku hanya diam, menyadari kenyataan bahwa kawanku itu masih mengaku sebagai ‘politikus.’ Karena matanya melotot serta wajah dan tangannya seperti mematung di hadapanku, menanti jawabanku, akhirnya aku nyerocos pula.

"Coba kau lihat para pejabat itu. Mereka dapat mobil baru, mewah pula. Jalan-jalan di jalan tol tidak bayar, dipandu polisi atau polisi militer dengan sirene nguing-nguing memakakkan kuping."

"Dan, kau capek harus nyetir sendiri atau naik bus, bermacet-macet ria."

"Bukan itu kawan. Lihat saja apa yang terjadi dengan kasus Bank Century, yang kemudian melahirkan Tim Pansus DPR untuk mengusut kasus tersebut. Mereka mempertontonkan kegemaran mereka berdiskusi, berteriak, dan tertawa saling memuji dan berang saling memaki. Capek aku menontonnya!"

"Untuk apa kau tonton, kalau itu bikin kau capek. Makanya sakitlah kau, tidur di bangsal, disuguhi makanan tawar dan kau tetap harus bayar mahal. Untung kau tidak mati."

"Iya, capek aku. Capek aku mendengar memperdebatkan hal-hal yang tidak fundamentil bagi anak negeri ini. Capek aku melihat mereka main cakar-cakaran, lalu kemudian di balik layar bersalaman, salam tempel, lalu tertawa, menertawakan para penonton, dan diri sendiri."

Kawanku tadi menyeringai. Entah apa maksud dari tingkahnya itu. Apakah itu setuju atau tidak, sependapat dengan pendapat itu atau tidak, atau memang demikian adanya atau tidak.
Namun di balik senyumnya itu, terlihat keletihan di wajahnya. Letih mendengar celoteh pesakitan dari atas bangsal bersarung serba putih atau letih melihat negeri yang selalu menjadi bahan tertawaan, lahan cakar-cakaran, lahan makar-makaran itu.

Hari ini adalah babak akhir dari Tim Pansus DPR. Rapat Paripurna DPR RI digelar untuk mendengarkan hasil akhir dari Pansus Century. Empat ratus tiga puluh satu dari 560 anggota DPR hadir. Mereka berkumpul di dalam Gedung DPR RI. Di luar gedung ada ribuan orang berkumpul atau mungkin jutaan orang menanti putusan DPR.

Lalu, di layar kaca, kami disuguhi monolog Butet Kartaredjasa, yang menyebut, grup lawak pada berguguran, termasuk Srimulat bangkrut karena kalah lucu dengan para wakil rakyat di Gedung DPR RI. Bahkan, artis-artis kondang ibukota mulai masuk ke gedung DPR menjadi anggota dewan yang terhormat. Artis-artis itu ingin belajar acting dari anggota DPR agar tak mau kalau dari acting para anggota DPR atau demi mencegah agar selebritas itu tak tergilas para selebritas di Senayan. Butet menyebut apa yang terjadi di DPR sebagai Telenovela.

Aku jadi ragu dengan perkataan budayawan Pramudya Ananta Toer yang telah dipanggil Yang Kuasa dua tahun lalu, tentang saling sikut dan saling bunuh antar saudara sendiri. Bukankah yang terjadi adalah saling jaga antar saudara sendiri?

Jangan-jangan tulisan ini pun bagian dari kondisi itu. Lalu membuat banyak orang capek membacanya, karena memang tak ada gunanya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.