Monday, May 29, 2006

Tenda Biru Yogya

GEMPA lagi. Kali ini meluluhlantakkan Yogya dan sekitarnya. Kabupaten Bantul yang paling parah. Ribuan orang terkapar, tak bernyawa atau luka parah. Ribuan bangunan ambruk, tinggal puing atau dinding. Ratusan ribu orang tak berani tidur di dalam bangunan. Mereka memilih di tanah lapang beratapkan langit, berdinding dingin, di halaman rumah sakit atau di padang rumput. Dalam derai hujan, mereka mengeluh dan berteriak tentang ketiadaan tenda.

Aku terkesiap. Nama kaumku, Tenda, diseru. Tak pernah dalam sejarah, kaumku mangkir dari tugas. Karena memang demikianlah semboyan kaumku. “Dari manusia untuk manusia!” Kami selalu menaungi manusia dalam suka maupun duka.

Monday, May 22, 2006

2050

GOOD morning, sir!” Seorang OB alias office boy menyapa. Staf kantor yang bukan bosnya itu berlalu, cuek, dan sempat-sempatnya bilang, “kopi, please!”

Di kantor, di rumah, di perjalanan, di warung, apalagi dalam perbincangan bisnis, di Tanah Air ini, semua dalam bahasa asing, meski campur-campur. Merek produk, mulai dari pakaian dalam hingga elektronika, asing. Reklame, nama gedung dan kantor, tak terkecuali. Perusahaan asing dan lokal tak lagi bisa dibedakan. Sama. Sembilan puluh sembilan persen –untuk tidak mengatakan seluruhnya-- dalam bahasa asing.


Ini 2050. Indonesia tak lagi mengenal demo buruh yang menuntut kesejahteraan. Juga tak ada lagi unjuk rasa menentang rancangan undang-undang. Mahasiswa tertib, rapi dan tak lagi turun ke jalan.

Telepon berdering. Seorang minta segera ketemu. “Ok! I’ll be right there in 30 minutes!” Berkemas. Mobil sport itu menderu dan tancap gas.

Di perbatasan Jakarta, petugas imigrasi selalu berjaga-jaga. “Your pasport, sir!

Kasak-kusuk membuka tas, dan laci. “Waduh, lupa, sir!” Dalam benaknya, bakal batal janjinya bertemu seseorang di negeri jiran, yang jaraknya cuma 30 km dari Jakarta, Indonesia.

Sejurus kemudian, orang berseragam datang. “Pak, teleponnya, tuh, berisik!” seru OB yang tadi membuatkannya kopi.

Dering telepon berlalu mengiringi kepergian lamunannya yang membuai. Tentang Indonesia yang tinggal Jakarta. Tentang 2050. n rizagana

Monday, May 15, 2006

Minyak

MINYAAK! Teriakan pengecer minyak tanah di gang-gang di Jakarta nyaris tak terdengar lagi. Banyak orang sudah beralih ke gas, barangkali. Tapi gerobak minyak masih berseliweran, dengan tenaga manusia atau sepeda motor. Suara gerobaknya khas, se-khas teriakan penjajanya. Minyaak!

Tuesday, May 09, 2006

Pertamax Plus Minus

WAKTU hujan sore-sore. Belasan anak bermain bola. Memanfaatkan lapangan parkir di belakang Rumah Sakit Agung, Manggarai, Jakarta. Bertelanjang dada, tak peduli hujan. Adu cepat, adu ketangkasan menggiring si kulit bundar. Lalu bersorak, berpelukan, dan mengacungkan kedua telunjuk meniru gaya Thiere Henry sehabis memasukkan bola ke gawang lawan. Gool...!

Ada kebanggaan buat si pencetak gol dan timnya. Sah-sah saja bila bermacam-macam cara mereka lakukan untuk merayakan sebuah gol. Belum tentu menang, memang. Tapi untuk sebuah hasil kerja sama tim, buah persaingan. Setelah melewati rintangan gelandang, back, dan kiper serta gawang yang berukuran dua meter dengan batas atas yang tergantung tinggi badan dan jangkauan kiper.

Ada sikut-sikutan, juga upaya menjegal. Pelanggaran yang masih bisa dimaafkan, meski tanpa wasit. Lawan pun menerima sambil ‘mengancam’ dengan gol balasan. Pelanggaran berat nyaris tak ada, kecuali bermain di lapangan parkir yang membuat pemilik kendaraan was-was. Selebihnya, adu keterampilan, tes fisik, dan uji nyali. Penonton, termasuk fans yang kalah pun legowo.

Terbayang saat mereka dewasa. Bermain bola di Gelora Bung Karno atau di ‘lapangan’ kehidupan lainnya. Saat belajar, mencari kerja, berkarier. Menjadi pemimpin atau pemilik perusahaan. Tak terdengar desis si Pulan menghadapi diskriminasi sejak melamar kerja, menerima upah, hingga menjalankan bisnis sendiri. Semoga, kelak ada lapangan buat mereka.

Di lapangan birokrasi dan politik, bahkan.

Tuesday, May 02, 2006

May Day... May Day...!

Kali ini, mereka tak lagi bisa berteriak. Giliran media massa menyambut dan menjadi corong. Televisi, radio, koran seperti berulang-ulang meneriakkan May Day... May Day...! Tapi dimana....