Monday, July 31, 2006

Bursa Pengangguran

SUDAH.Tidurlah, anakku!” Ibunda mencoba menenangkan hati anaknya. Tapi si anak tak juga bisa tenang, apalagi tidur. Mata terpejam, tapi pikirannya terus melanglang buana. Sudah setahun diwisuda, selama itu pula ia menganggur. Empat tahun ia habiskan waktu di bangku kuliah, selama itu pula ia mengeruk kocek plus tabungan hari tua bapaknya di Jamsostek.
Giliran Bapak diajak tidur. Di tempat tidur, Ibunda tak juga lelap. Ia tak juga bisa membuka mulut, tentang keluh-kesah anaknya. Mata terpejam, tapi pikirannya melanglang buana ke masa silam.

Waktu itu, Bapak melenguh, seperti sapi dicucuk cingurnya, setiap diajak urun rembuk soal keinginan anaknya kuliah. Biaya kuliah per semester yang Rp 3 juta, okelah. Tapi uang pangkal yang Rp 15 juta itu, darimana?

Monday, July 24, 2006

Ilmu Ekonomi

TANYALAH soal hidup bahagia. Apa, bagaimana dan di mana itu. Kepada orang kaya atau miskin, pejabat-rakyat, direktur-penganggur, agamawan-sastrawan-maling dan kawan-kawan. Pasti jawabnya berbeda. Atau siapa saja, aku, kau, atau dia. Keluarga, selingkungan warga, marga, atau negara.

Tuesday, July 18, 2006

Menabung

Dia baru saja naik kelas IV SD. Seperti kenaikan kelas pada tahun-tahun sebelumnya, ia merayakannya dengan membuka celengan. Hasilnya Rp 2.250.000. Biasanya, uang tabungan itu habis untuk membiayai sekolahnya sendiri. Mulai dari buku dan seperangkat alat-alat tulis, seragam, tas, dan sepatu. Semuanya baru. Sisanya untuk jajan, main di timezone, atau membeli mainan.

Kali ini, seluruh keperluan itu telah terpenuhi. Sehingga seluruh uang hasil menabung selama setahun itu idle. Gadis kecil itu bingung dan mulai berangan-angan.

Wednesday, July 12, 2006

Ruang Koperasi

SABTU besok, Pulan mau ngecor atap rumahnya. Dia sudah nyewa mesin molen, dan dua orang tukang becak. Cuma enam kali enam meter persegi, kok!”

Kalimat itu meruang dan terus meraung dari telinga ke telinga warga pada setiap perjumpaan, di tempat-tempat nongkrong, diselingi perbincangan tentang kekalahan tim sepakbola tuan rumah, Jerman, atas Italia–yang kemudian menjuarai—pada Piala Dunia 2006. Mereka pun mafhum, dan “Oke aja. Tapi ada gule, kan?”

Seperti iringan semut menggotong sebutir gula pasir, para warga berbaris estafet, menggiring ember-ember adonan cor ke atap rumah. Derak sekop dan bising mesin molen seirama dengan desis adonan cor meluap ke bak penampungan. Harmoni dengan kecipak batu split dalam lumpur semen dan pasir, gendang parau ember yang beradu, serta desah nafas kuli gadungan. Yang di bawah melagukan “ember!” bersaut dengan senandung, “adukan!” dari yang di atas.

Pemandangan itu bukan di sebuah desa di Bantul, yang luluh-lantak oleh gempa bumi, yang merana oleh janji bantuan. Tolong-menolong dan gotong royong itu ada di pinggiran Jakarta, di komplek perumahan. Sebuah rutinitas week end selain acara keluarga. Kerja bakti, membantu tetangga hajatan atau terkena musibah. Lalu, es orson atau es teh manis menyirami tenggorokan. Nasi, tahu, tempe, ikan asin, lalapan, plus sambel trasi terhidang. Bukan gule.

Tuesday, July 04, 2006

Garuda Menanti

Rupanya melamun juga ia. Kehilangan tahta, terusir ke hutan ringan saja buat dia. Tapi kehilangan istri membuat ke-manusia-annya hidup. Marah, kesal, putus asa.