Wednesday, July 12, 2006

Ruang Koperasi

SABTU besok, Pulan mau ngecor atap rumahnya. Dia sudah nyewa mesin molen, dan dua orang tukang becak. Cuma enam kali enam meter persegi, kok!”

Kalimat itu meruang dan terus meraung dari telinga ke telinga warga pada setiap perjumpaan, di tempat-tempat nongkrong, diselingi perbincangan tentang kekalahan tim sepakbola tuan rumah, Jerman, atas Italia–yang kemudian menjuarai—pada Piala Dunia 2006. Mereka pun mafhum, dan “Oke aja. Tapi ada gule, kan?”

Seperti iringan semut menggotong sebutir gula pasir, para warga berbaris estafet, menggiring ember-ember adonan cor ke atap rumah. Derak sekop dan bising mesin molen seirama dengan desis adonan cor meluap ke bak penampungan. Harmoni dengan kecipak batu split dalam lumpur semen dan pasir, gendang parau ember yang beradu, serta desah nafas kuli gadungan. Yang di bawah melagukan “ember!” bersaut dengan senandung, “adukan!” dari yang di atas.

Pemandangan itu bukan di sebuah desa di Bantul, yang luluh-lantak oleh gempa bumi, yang merana oleh janji bantuan. Tolong-menolong dan gotong royong itu ada di pinggiran Jakarta, di komplek perumahan. Sebuah rutinitas week end selain acara keluarga. Kerja bakti, membantu tetangga hajatan atau terkena musibah. Lalu, es orson atau es teh manis menyirami tenggorokan. Nasi, tahu, tempe, ikan asin, lalapan, plus sambel trasi terhidang. Bukan gule.