Tuesday, October 31, 2006

Proyek Kongko

MASIH dalam suasana Lebaran. Mudik, berkunjung ke sanak famili, teman, bermaaf-maafan, lalu bercerita tentang hidup dan kehidupan di Ibukota. Dalam perbincangan yang santai, tapi serius. Kongko.

Setelah basa-basi tentang kehidupan di kampung, pemudik biasanya jadi pendongeng. Yang diceritakan, sedikit saja tentang kehidupannya di kota besar. Selebihnya, ia ceritakan tentang wah-nya hidup dan kehidupan orang lain di Ibukota. Seolah-olah ia menjadi aktor dari orang lain yang wah itu. Tentang pekerjaan, mobil mewah yang berseliweran, gedung pencakar langit, juga tentang cewek-cewek mulus nan seksi.

Lumayan! Dapat kopi gratis, snack dan makan gratis, bahkan tiket ke Jakarta.

Puas membuat teman dan saudaranya ngiri dan ngiler. Lalu pulang. Ke rumah, ke Jakarta. Kembali ke kehidupan yang sesungguhnya. Tak sedikit yang akhirnya ikut mengadu nasib di Ibukota. Tergiur ajakan dan tawaran temannya, pemudik. “Sebentar lagi banyak proyek dibangun!”

Ya! Sejak awal, pemerintahan sekarang sudah berkoar-koar untuk membangun sejumlah proyek mega dalam bidang infrastruktur. Ada jalan tol, telekomunikasi, pembangkit listrik, pertambangan, pelabuhan, dan air minum. Seribu tiga ratus triliun rupiah, nilainya! Saking besar dana yang dibutuhkan, dalam negeri angkat tangan. Karena itu investor asing harus didatangkan.

Awal tahun lalu, proyek-proyek itu sudah ditawarkan ke pengusaha mancanegara dan dalam negeri, tetapi hanya sedikit yang laku. Sejak itu, pemerintah mempromosikan Indonesia di luar negeri. RI-1 dan 2, bahkan –kalau ada istilahnya—RI-3, 4, 5, dan seterusnya rutin bertandang ke luar negeri. Tak hanya proyek yang dipromosikan, tetapi juga iklim investasi di Tanah Air. Sekalian insentif, keringanan, dan bahkan jaminan proyek itu.

Kabar yang tersiar, setiap pejabat negara bertandang ke luar negeri selalu disambut puluhan, bahkan ratusan pengusaha setempat dengan antusiasme tinggi. Intinya, mereka amat tertarik berinvestasi di Indonesia.

Dalam acara pameran dan konferensi infrastruktur yang digelar besok, pada 1-3 November 2006, ratusan investor mancanegara sudah mendaftar untuk hadir. Sebanyak 850 investor dari 28 negara sudah mendaftar untuk hadir dalam acara gebyar yang disebut Infrastructure Conference and Exhibition (ICE) 2006.

Chris Kanter, ketua Organizing Committee ICE 2006, seperti dikutip Kompas (30/10), mengatakan, “saya kira peserta ICE ini benar-benar investor yang serius, sebab mereka harus membayar US$ 750 sebagai biaya kepesertaan.”

Lho! Bicara proyek miliaran dolar AS, tapi kenapa keyakinan akan keseriusan investor dikaitkan dengan biaya yang tak sampai seribu dolar?

Lho! Setelah para pejabat pemerintah, mulai dari RI-1, 2, entah RI berapa lagi, ramai-ramai ke luar negeri menawarkan berbagai proyek, mempromosikan iklim investasi yang sudah lebih baik, menjanjikan bahkan menjamin, sekarang kok 850 investor dari 28 negara diundang untuk sebuah pameran dan konferensi infrastruktur yang diberi nama keren ICE 2006? Proyek kok dipamerkan? Dikonferensikan?

Atau memang demikian yang diinginkan. Berkoar-koar tentang proyek mega di dalam negeri kepada pengusaha luar negeri. Cuma sebatas berkoar-koar? Karena sesungguhnya proyek-proyek itu bukan untuk ditawarkan, tetapi cuma dipamerkan dan dikonferensikan. Karena proyek-proyek yang ditawarkan itu sesungguhnya sudah ada yang punya, terutama proyek-proyek yang pasti menguntungkan.

Lalu, pertemuan akbar yang merupakan kelanjutan tahun lalu itu tak lebih dari proyek kongko-kongko saja? Bercengkerama, bersanjung puja, jalan-jalan ke luar negeri, makan-minum di hotel mewah, melihat-lihat, dengar-dengar, ketawa-ketiwi, lalu kecewa.

Tidak pas juga mengambil perumpamaan orang-orang yang dibuat ngiri dan ngiler oleh pemudik tadi, agar ikut ke Ibukota. Di Jakarta cuma diajak keliling kota, mendengar dan melihat ‘kemewahan’ yang sesungguhnya milik orang lain. Pokoknya adalah cuma buang-buang uang. Kelakuan!

Yah! Mumpung masih dalam suasana Lebaran, ada kesempatan untuk mengucapkan, “mohon maaf lahir dan batik!” n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 31 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Tuesday, October 17, 2006

Perdamaian

APA hubungan bank, orang miskin, dan perdamaian?

Sebentar! Bank dan perdamaian ada kaitannya, terutama dalam penyelesaian tunggakan kredit atau tagihan. Lalu, hubungan bank dengan orang miskin? Jarang orang miskin berhubungan dengan bank. Sebaliknya, bank pasti tak mau berurusan dengan orang miskin.

Sedangkan orang miskin dan perdamaian? Pusing, ah! Apakah orang miskin yang membuat keadaan jadi tidak damai. Atau sebaliknya, orang miskin yang lebih sering berdamai. Lha, kalau orang kaya atau yang tidak miskin lagi? Apa mereka lebih identik dengan kedamaian dan perdamaian?

Komite Nobel Norwegia (NNC) menjawabnya amat ringkas. “Perdamaian abadi tidak akan dapat dicapai, jika masih ada kelompok masyarakat dalam jumlah besar terjerat kemiskinan.” Nah, dengan pertimbangan itu pula, Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada ekonom, sekaligus bankir, Muhammad Yunus, dan Grameen Bank. Ia dinilai mampu mengentaskan jutaan orang miskin dengan cara mengucurkan kredit kepada perempuan-perempuan di Bangladesh lewat skema kredit usaha mikro. Sejak 1976.

Lho, Bank Dunia? Bank yang didirikan 43 negara kaya untuk membantu negara miskin keluar dari jerat kemiskinan. Sejak 1944 atau lebih tua dari Grameen Bank, milik Muhammad Yunus. Dana yang dikucurkan Bank Dunia pun sudah puluhan miliaran dolar AS, jauh lebih banyak dari yang dikucurkan Grameen. Cakupannya bukan hanya perorangan, apalagi perempuan, tapi negara. Programnya jelas dan dipantau ketat. Kok Grameen?

NNC pasti punya jawaban untuk itu. Dan, NNC pasti tidak sedang meledek Bank Dunia, yang realitanya justru membuat negara yang dibantu makin terpuruk dalam kemiskinan dan terjerat utang yang mencekik leher. Negara-negara kaya itu, justru makin kaya –untuk tidak menyebutnya rentenir-- bahkan membuat negara lain tak damai.

Di dalam negeri? Tidak! Komite Nobel itu pasti tidak sedang menyindir Indonesia yang punya segudang program pengentasan kemiskinan. Sejak awal Indonesia merdeka, bahkan. Pemerintah selalu menyediakan anggaran untuk mengentaskan orang miskin. Tahun lalu, jumlahnya Rp 22 triliun. Tahun ini Rp 42 triliun. Tahun depan Rp 51 triliun, yang disebar di 19 departemen.

Indonesia punya Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang sudah berusia seabad lebih. Tanyalah direksinya, pasti ia hafal betul berapa kredit yang sudah disalurkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Juga puluhan triliunan rupiah. Detail, dan tiap tahun selalu meningkat. Labanya saja, tiap tahun bisa triliunan rupiah.

Bank sentralnya, Bank Indonesia (BI), bahkan mewajibkan bank mengucurkan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ada lagi yang namanya kredit tanpa agunan (KTA). Tiap tahun ada pagunya, sampai puluhan triliun rupiah. Dan, tujuannya jelas, untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Tapi, coba datanglah ke bank dan tanyakan KTA. Pasti jawabannya ada, tersedia, dan siap dikucurkan kapan saja. Syaratnya slip gaji –itu berarti calon penerima KTA adalah pekerja. Bunganya, alamaak, di atas 25% setahun. Padahal bunga tabungan saat ini cuma 4%.

Orang kaya? Lupakan! Jangan coba-coba bertanya kepada orang kaya Indonesia, pemilik bank atau pemilik puluhan perusahaan. Pasti ia lebih suka menaruh uangnya di luar negeri. Menurut surat kabar ini, ada 18 ribu orang kaya Indonesia yang menyimpan uangnya di Singapura dalam jumlah Rp 800 triliun. Nilai yang hampir setara dengan dua kali APBN Indonesia.

Stop! Pertanyaan itu pula tak perlu diteruskan, misalnya berapa banyak orang miskin Indonesia yang berhasil dientaskan. Tanya kenapa? Pertama, agar orang yang ditanya tak tersinggung. Kedua, UMKM itu pasti bukan orang miskin papa. Ketiga, ya itu tadi, bank pasti berusaha sekuat tenaga untuk tidak berurusan dengan orang miskin. Bank adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Titik!

Karena itu, pertanyaannya lebih baik ditujukan kepada Komite Nobel Norwegia. Kenapa Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada bankir yang bernama Muhammad Yunus? Bikin malu saja! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 17 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Tuesday, October 10, 2006

Pembangunan Itu

SRI MULYANI tak punya pilihan. Ia dan keluarganya harus tinggal di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta Barat. Rumah petak kontrakan, berdinding dan beratap seng, lembab. Lingkungan tak mendukung, gizi minim, Cahyani (1,5 tahun), anaknya, kena TBC. Delapan bulan terapi, tak sembuh, bobot badan konstan pada angka delapan kilogram.

Cahyani adalah satu dari ribuan balita di ibukota yang kualitas gizi dan kesehatannya buruk. Hingga Agustus 2006, ada 9,253 balita seperti Cahyani, menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta. Inilah yang membulatkan Rini Sutiyoso memeranginya. “Kalau bisa malah enggak ada sama sekali,” kata Rini. (Kompas, Rabu, 5/10)

Tidak ada gembar-gembor berapa besar dana yang bakal diguyurkan untuk memperbaiki gizi dan kualitas kesehatan anak-anak Jakarta. Memangnya siapa Rini? Lain dengan suaminya, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang akrab disapa Bang Yos. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Gubernur DKI Jakarta itu kini tengah menantang arus, membelah jalan, memacetkan lalu lintas ibukota, membangun jalur busway.

Investor Daily (Sabtu, 7/10) memberitakan, Pemrov DKI Jakarta menganggarkan dana Rp 35 triliun untuk membenahi transportasi ibukota. Itu demi membebaskan Jakarta dari kemacetan pada 2010. Lengkap dengan daftar proyek dan nama-namanya, serta rencana dan target penyelesaiannya.

Itulah pembangunan!

Untuk pembangunan pula, ada puluhan, bahkan ribuan triliun rupiah dana yang dianggarkan republik ini. Swasta lebih banyak, dan so pasti dengan dukungan penuh pemerintah. Dukungan kebijakan, politik, dana, bahkan di bawah tangan. Soal dana, tahun ini saja, pemerintah menganggarkan APBN senilai lebih dari Rp 500 triliun. Baik penerimaan maupun belanja.

Anggaran cuma 500, tapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan anggaran bermasalah dan diragukan sebanyak 1.719. (Tentu saja, dalam bilangan triliun rupiah). Rincian anggaran yang diragukan itu, termaktub di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005, antara lain investasi di Bank Indonesia sebesar Rp 130 triliun, penerimaan pajak hampir Rp 350 triliun, penyertaan modal pemerintah pada BUMN mendekati Rp 400 triliun, serta pengendalian dan pencatatan utang luar negeri sebesar Rp 600 tiliun.

Anggaran yang diragukan itu adalah yang di atas Rp 100 triliun. Ada banyak item anggaran yang diragukan yang jumlahnya di bawah Rp 100 triliun. Sebut saja dana bergulir, piutang pajak, piutang BLBI, rekening dana investasi, aset eks-BPPN, aset eks BP Migas. Bahkan, ada uang negara yang didepositokan di bank. BPK menyebut, ada 1.303 rekening dan deposito atas nama pejabat negara senilai Rp 8,54 triliun. Departemen Keuangan ternyata baru mengetahui ada 632 rekening deposito senilai Rp 1,32 triliun.

Itu yang ketahuan. Yang tidak ketahuan, siapa tahu?

Itukah pembangunan? Uang negara dikelola tanpa ada pertanggungjawaban secara akuntansi. Pajak ditarik dari rakyat, lalu dibelanjakan, didepositokan, atau bahkan ditilep. Ketahuan, ada pemberitahuan dari pemeriksanya tetap tenang-tenang saja. Yang penting ada catatannya, meski tak sesuai standar pencatatan (akuntansi).

Di republik ini, anggaran bermasalah atau diragukan sepertinya tak berarti apa-apa. Saban tahun berulang dan berulang. Kecuali ada masalah dengan orangnya, anggaran yang tak bermasalah sekalipun bisa dibuat bermasalah. Orangnya digelandang ke kejaksaan, ke kepolisian, disorot tv, disiarkan radio dan media cetak, lalu dilengserkan. Terbukti atau tidak, itu tak penting. Yang penting orang penting itu sudah lengser dan 'babak belur'.

Di republik ini, ada ribuan, atau bahkan jutaan orang yang kurang gizi, yang kualitas kesehatannya buruk. Yang tak bisa sekolah, yang jatuh miskin, yang terusir dan tergusur atas nama pembangunan, yang menatap langit hampa. Seperti Sri Mulyani, ibu Cahyani, di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta. Bukan Sri Mulyani Indrawati di Lapangan Banteng, Jakarta.

Pembangunan itu adalah proyek, gedung, dan uang triliunan. Kenapa bukan manusia yang sehat dan berakal? n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 10 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

Monday, October 02, 2006

Tidur

TIDUR! Puasa di bulan Ramadhan ini memang nikmat, ibadah lagi. Apalagi tidur di siang hari menghalau lapar dan dahaga, menghindari terik mentari yang menyengat. Tidur di rumah, di kantor, di masjid atau mushala, di mana saja. Bangun-bangun menjelang bedug Maghrib, dan es buah plus kolak sudah tersedia. Ah, nikmatnya!

Tak hanya saat puasa, tanpa es dan kolak sekali pun, tidur bisa nikmat. Lewat waktu, lupa masalah, tak ingat tangung jawab. Tapi kebanyakan tidur, kata orang pintar, justru menjadi sumber penyakit. Badan lemas, loyo, tak bergairah, dan gampang terserang penyakit. Penyakit malas, salah satunya. Malas mikir, bahkan malas keluar dari jerat kantuk akibat kebanyakan tidur.

Soal tidur ini, ada dua cerita. Pertama, cerita Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi. Pekan lalu, Perwakilan Jubilee USA Network Debayani Kar datang ke Jakarta. Utusan LSM dari AS itu berkoar-koar agar Pemerintah Indonesia segera mengajukan pemotongan utang kepada kreditor luar negeri, baik bilateral maupun multilateral. Jubilee telah mendaftar 78 negara miskin di dunia, sebagian besar dari Afrika, yang memiliki utang kepada AS, untuk dihapuskan. Kala Indonesia disebut, anggota Konggres AS justru bertanya, “apa Indonesia pernah minta penghapusan utang?”

Di Eropa, ada Eurodad alias European Network on Debt and Development, yang sejak lama lantang meneriakkan penghapusan utang bagi Indonesia. Dia bilang, Paris Club, lembaga kreditor multilateral sebangsa Bank Dunia, IMF, ADB harus melupakan 79% utang Indonesia. Kalau tidak, Pemerintah Indonesia yang melupakan kebutuhan dasar rakyatnya, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial hari tua.

Aneh bin ajaib. Indonesia yang berutang, pihak lain yang resah dan gelisah, berkoar-koar minta penghapusan utang Indonesia yang bejibun –sekitar Rp 2.000 triliun, yang tediri atas utang luar negeri pemerintah US$ 85 miliar, utang luar negeri swasta sekitar US$ 65 miliar, dan utang dalam negeri pemerintah Rp 650 triliun. “Tanya-ken-apa dan kemana pemerintah? Tidur?”

Cerita kedua dari Faisal Basri, yang disampaikan dalam seminar di Sekolah Tinggi Manajemen PPM, Jakarta, Senin (2/10). Seorang pejabat Singapura terheran-heran dengan Indonesia karena sektor riil tidak bergerak akibat kredit tidak mengucur. “Apa Indonesia tak punya dana?” tanya teman dari jiran. Dana ada, tabungan berlimpah, suku bunga sudah turun, tetapi kok kredit tetap saja seret.

Faisal enteng berkata, “Bank-bank di Indonesia tidak terbiasa menyalurkan kredit secara benar.” Itu saja! Selama ini bank-bank menyalurkan kredit kepada pengusaha pemilik bank, kolega pemilik dan bankir, atau atas dasar kongkalikong dengan pejabat. Selebihnya, tidur. Sekarang pun masih nyenyak?

Tidur! Sekali-kali jalan-jalanlah ke mal, telusuri gang-gang sempit di supermarket. Produk-produk luar negeri berbahasa Indonesia berderet dipajang. Kalau diteliti, di kemasan produk kacang goreng itu tertulis made in China. Ada juga minuman jus kalengan, yang bahan bakunya dari Medan, pabriknya di luar negeri. Produk-produk itu sedang dalam proses registrasi di Badan POM, tapi produknya sudah beredar di pasar modern. Selain dari Cina, ada banyak produk dari Singapura, Malaysia, Italia, dan Australia yang sudah dan siap membanjiri pasar Indonesia. “Pemerintah Indonesia? Tidur?”

Tidur pula yang menyebabkan banyak produk luar negeri leluasa menguasai pasar dalam negeri. Tanyalah jeruk Brastagi yang katanya manis-manis kecut. Di Brastagi, Medan, harga jeruk cuma Rp 300 per kilogram, tapi di Jakarta harganya mencapai Rp 10 ribu. Kata orang Jakarta, mending beli jeruk Mandarin, cuma Rp 6.000. Anehnya, harga jeruk Mandirin di Beijing dan di Jakarta, tidak beda.

Sebelumnya, bekas calon wakil presiden Siswono Yudhohusodo pernah cerita tentang keluhan sapi Sumbawa yang biaya angkut ke Jakarta lebih mahal 165% dibanding sapi Darwin, Australia. Juga, biaya angkut satu kontainer dari Batam ke Jakarta Rp 10 juta, tapi ongkos San Fransisco-Jakarta cuma Rp 6 juta. Ini soal sarana dan prasarana alias infrastruktur, yang membuat orang atau siapa saja yang lalu-lalang di atasnya, pulas tertidur.

Itu belum apa-apa. Yang bahaya justru adalah kalau dipuasakan, lalu ditidurkan atau malah dengan akhiran ‘i’. Itulah yang terjadi, persis setahun lalu. Menurut istilah Faisal Basri, pemerintah bertindak seperti drakula yang menyedot darah segar rakyat berupa subsidi BBM, kemudian ditawarkan kepada asing dalam bentuk suku bunga tinggi. Asing berbondong-bondong datang mengisap SBI, SUN dan saham. Rakyat dibiarkan lemas, kurang darah. Antara tidur dan mati! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 3 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN