Monday, December 15, 2008

The Big Three Mengancam Amerika

Finance is a gun and politics is knowing when you have to pull the trigger.”

Don Luchessi dalam film The Godfather III


Apa yang tidak bisa dilakukan pengusaha? Ketika berjaya, juga saat tak berdaya.

Krisis finansial global yang menghantam Amerika Serikat (AS) sejak beberapa bulan ini kembali mempertontonkan aksi para pengusaha dan penguasa.

Tiga bulan lalu, lakon utama sandiwara dana bailout US$ 700 miliar bermain ciamik. Ketika rakyat AS menolak dana talangan itu, pasar finansial justru yakin dan berharap wakil rakyat akan menyetujui proposal bailout yang diajukan Presiden AS George Walker Bush itu. Tapi, ternyata Konggres AS tak setuju. Bursa saham New York Stock Exchange (NYSE) rontok. Pasar saham Eropa dan Asia pun demikian. Pasar tegang atau pura-pura tegang.

Di Bursa Efek Indonesia (BEI), makin tegang. Libur Lebaran Idul Fitri bukan makin fresh, malah stres. Malam Takbiran makin khusyuk bermunajad agar saham di BEI tak mengikuti jejak NYSE dan bursa lain di seluruh dunia. Seminggu berlibur, seperti terkubur dalam kegalauan. Pas dibuka, saham di BEI ternyata rontok juga, malah lebih dalam. Saham-saham grup Bakrie hancur sehingga otoritas menghentikan perdagangan.

Itulah drama alias sandiwara. Drama itu berlanjut hingga kini. Tiap hari, pelaku pasar makin tegang. Dan, sepertinya ketegangan itu sengaja diciptakan sang sutradara. Namanya juga drama. Yang pasti, ending-nya jelas, yakni happy. Dan, pada akhirnya dana bailout US$ 700 miliar itu disetujui. Tapi ending itu ternyata tak membuat pelaku bursa happy. Hingga kini.

Saham-saham grup Bakrie yang selalu menjadi pioner dalam pergerakan saham di BEI benar-benar mempertontonkan kebolehannya. Saham Bumi Resource (BUMI) yang sempat di Rp 8.000, tinggal Rp 800. Bakrie Development (ELTY) yang sempat di Rp 700 tinggal Rp 70, Bakrie Brother (BNBR) yang sempat di Rp 740 jadi Rp 50, Energi Mega Persada (ENRG) dari tertinggi Rp 1.500 tinggal Rp 90, Bakrie Sumatra Plantation (UNSP) tertinggi pernah Rp 2.800, sekarang Rp 250.

Itu semua terjadi pada tahun ini. Saham-saham grup Bakrie tinggal 10%. Teringat ketika Orde Baru ada istilah Mrs Ten Percent. Sekarang, boleh jadi Mr Ten Percent. Kalau era dulu, setiap proyek ada komisi 10%, sekarang kekayaan para pelaku pasar cuma dihargai 10%.

Sudahlah! Kata orang Jawa, untung masih ada 10% itu. Belum habis benar. Tapi, kejadian di AS dua pekan terakhir ini, membuat para pelaku pasar was-was. Tiga raksasa otomotif di AS tengah menggelar drama serupa. Ceritanya, General Motors (GM), Chrysler, dan Ford --yang kemudian dijadikan judul drama, The Big Three—bangkrut dan minta diselamatkan. Mereka minta dana talangan US$ 34 miliar. Presiden AS yang baru saja dilempar sepatu oleh wartawan Irak itu setuju. Tapi yang disetujui cuma US$ 15 miliar. Biar persetujuan itu tak terlihat 100% atau biar tak dilempar sepatu oleh warganya sendiri?

Namun, drama di Konggres kembali terulang. Persetujuan wakil rakyat tak diperoleh. Lalu, The Big Three pasrah, balik badan sambil mengumpat dan mengancam. “Ya, sudah. Berarti, sedikitnya tiga juta orang jadi pengangguran.”

Lembaga penelitian, Center for Automotive Research (CAR) –singkatannya dibuat sama dengan bisnis The Big Three-- segera melakukan survei. Hasilnya, selain tiga juta pengangguran baru, ada 800 ribu pemasok kehilangan mata pencarian. Kalau satu pemasok menghidupi 100 orang, berarti ada 80 juta orang terancam mata pencahariannya. Ada ratusan ribu pesiunan mengajukan klaim ke Federal Pension Benefit Guaranty Corp dan asuransi kesehatan hingga 2017 yang kalau dihitung, nilainya mencapai US$ 90 miliar.

Itu belum cukup. Pendapatan perorangan bakal hilang sebsar US$ 125,1 miliar pada tahun pertama penutupan The Big Three itu dan menjadi US$ 275,7 miliar dalam tiga tahun ke depannya. Negara juga bakal kehilangan pendapatan pajak sebesar US$ 49,9miliar pada tahun pertama dan US$ 108,1 miliar pada tiga tahun mendatang. Ujungnya, perekonomian AS akan tergerus karena sektor otomotif selama ini menyumbang pada PDB sebesar 2% atau setara dengan US$ 300 miliar.

“Ngeri deh!” Mungkin, itulah kalimat yang keluar dari anggota Konggres dari Parta Demokrat sehingga mereka menjilat kembali ludahnya. Awalnya mereka sudah kadung menyatakan tidak setuju dengan dana talangan US$ 15 miliar itu. Anggota Konggres dari Partai Republik masih bertahan, tapi apa bisa tahan?

Boleh jadi, orang-orang di Amerika mencontoh tingkah polah pengusaha di Tanah Air ketika negeri ini dihantam krisis pada 1997/1998. Dalam hal ini, Indonesia, boleh juga!

Dalam posisi terjepit, pengusaha nasional kala itu menjadi peminta-minta. Ya, begitu itu. Pasrah, tapi menganca. Ketika pemerintah setuju mengucurkan dana talangan (BLBI), para pengusaha nasional itu masih menunjukkan wajah cemberut dan pura-pura miskin. Di balik layar, mereka justru berpesta pora dengan dana talangan itu. Dana talangan disikat, aset bank yang ditalangi pun diembat.

Ketika bank dikuasai pemerintah, asetnya kosong melompong. Ketika dimintai pertanggungjawaban, pemilik dan eksekutifnya sudah kabur. Ada juga yang bertahan karena memang tak ikut-ikutan berpesta. Tapi ada juga yang pura-pura tak bersalah, tak ikut berpesta, lalu dicokok aparat. Mereka digiring ke Hotel Prodeo sambil menunggu proses. Mereka tetap menunjukkan wajah tak bersalah. Lalu, pura-pura sakit. Sakit pusing akibat memikirkan nasib dirinya, tapi dokter mendiagnosa jantung, ginjal, hati, dan komplikasi ke cantengan (infeksi jempol kaki).

Jurus kedua dimainkan. Minta izin berobat. Dokter dalam negeri tak dilirik, minta ke luar negeri. Aparat pun, yang sudah bergizi, mengizinkan. Jurus berikutnya adalah sakit seumur hidup alias menghilang dan tak pernah kembali.

Mencuri, menipu, membunuh, bahkan membunuh saudara kandung tak apalah. Dari, demi dan oleh uang. Kira-kira itulah yang disampaikan film The Godfather itu. Dan, ucapan Don Luchessi dalam The Godfather III makin menegaskannya.

Namun, ketika uang tak ada lagi, The Big Three punya cara jitu untuk tetap bertahan. Tapi The Big Three mungkin sudah menyiapkan jurus berikutnya, bila dana talangan mengucur. Lagi-lagi mau mencontoh Indonesia, ya?


15 Desember 2008

Tuesday, October 21, 2008

Dunia Berjuang Keras Atasi Krisis

Amerika Serikat (AS) kini memasuki krisis keuangan terparah yang makin menegaskan era resesi ekonomi. Negara-negara di seluruh dunia akan terseret arus resesi yang menyakitkan itu. Presiden George Walker Bush dijadwalkan berpidato lagi sebelum perdagangan saham di Wall Street dibuka Jumat (17/10/2008).

Data ekonomi terakhir menunjukkan gambaran lebih baik ketimbang yang diperkirakan sebelumnya. Pasar saham sempat merosot tajam dalam dua hari terakhir sebagai respons terhadap laporan negatif yang keluar Rabu (15/10/2008). Data terbaru mengungkapkan angka pengangguran di AS kini hanya 461 ribu, turun 16 ribu dibanding pekan sebelumnya. “Dalam empat pekan sebelumnya, angka pengangguran di negeri itu rata-rata di atas 483 ribu,” tulis cnbc.com.

Sementara itu, angka inflasi September 2008 tak berubah, yakni 0,1% seperti bulan sebelumnya. Namun, Bank Sentral AS memperkirakan, produksi industri pada September 2008 turun 2,8%, penurunan terbesar dalam 34 tahun terakhir. Perekonomian negeri itu diperkirakan turun 0,8%.

Para investor di bursa Wall Street tampak senang melihat data ekonomi yang positif pada awal perdagangan Kamis (16/10/2008). Harga-harga saham pun dibuka menguat.

Menteri Keuangan AS Henry Paulson dan Gubernur The Federal Reserve Ben Bernanke kembali menegaskan, Pemerintah AS akan berupaya keras untuk menstabilkan sistem keuangan. “Namun, pulihnya pasar finansial bukan berarti ekonomi AS langsung sehat kembali. Tapi bila tidak distabilkan, pemulihan ekonomi yang lebih luas tidak akan terjadi sekarang,” kata Bernanke saat berbicara dalam forum Economic Club di New York, Rabu (15/10/2008).

Bank Sentral AS meluncurkan sebuah laporan tentang gambaran ekonomi nasional AS. Ben Bernanke mengingatkan, krisis keuangan ini akan berlangsung sangat lama untuk dipulihkan. Kepercayaan masyarakat terhadap pulihnya perekonomian itu pun menurun.

Bahkan, Vice Chairman The Fed Donald Kohn mengatakan, kinerja ekonomi AS yang bergejolak ini akan terus berlangsung hingga tahun depan. “Bahkan kondisi itu akan meningkat pada 2009 dan 2010,” kata Kohn.

Inilah yang menyebabkan indeks Dow Jones terpuruk 733 poin atau 7,87%, yang esoknya diikuti oleh seluruh bursa di Asia pada Kamis (16/10/2008). Indeks Nikkei terpuruk 11,41%, Seoul -9,44%, dan Hang Seng yang sempat merah membara dengan minus 8,4% akhirnya ditutup minus 4,8%. IHSG juga rebound dari penurunan 7% ditutup cuma minus 3,76%. Pada Kamis (16/10/2008), ketika dibuka, bursa Eropa juga merah merana.

Harga minyak mentah jenis light sweet untuk pengiriman November jatuh US$ 4,09 menjadi US$ 64,54 per barel di New York Mercantile Exchange. Angka itu merupakan level terendah sejak 31 Agustus 2007. Di London, harga minyak jenis Brent untuk pengiriman November anjlok US$3,73 menjadi US$70,80 per barel.

Gambaran suram tentang ekonomi nasional AS dalam laporan yang dikenal dengan Beige Book itu, ikut mendorong kejatuhan Wall Street. Laporan itu menunjukkan, aktivitas ekonomi melemah di 12 pemerintah daerah AS. Sektor konsumsi yang merupakan 2/3 lebih dari aktivitas ekonomi AS merosot tajam. Sektor industri merosot, apalagi yang berkaitan dengan properti. Pengusahanya pun menunjukkan sikap pesimistis melihat outlook ekonomi AS ke depan.

Upaya Pemimpin Dunia

Presiden Bush berencana berpidato lagi mengenai krisis finansial tersebut, pada Jumat ini. Ia akan berpidato sebelum aktivitas di bursa saham dibuka, yakni di kantor pusat Kadin AS (US Chamber of Commerce). Staf kepresidenan menyatakan, pidato Bush tidak dimaksudkan untuk mengeluarkan kebijakan baru, tapi ingin menjelaskan lebih detail tentang apa yang akan dilakukan pemerintah dalam ‘memerangi’ krisis.

Selain itu, para pemimpin negara-negara maju, G8, berencana menggelar pertemuan tingkat tinggi dalam waktu dekat untuk menangani krisis finansial yang makin menjadi-jadi ini. G8 terdiri atas AS, Jepang, Jerman, Francis, Inggris, Italia, Kanada, dan Rusia.

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan, pertemuan tingkat tinggi itu bisa digelar pada bulan depan. Pertemuan itu tidak hanya menyangkut masalah negara-negara maju, tetapi juga termasuk negara-negara berkembang (emerging), seperti Tiongkok dan India.

“Saya percaya ada ruang untuk membuat kesepakatan dalam beberapa hari ke depan untuk sebuah perubahan yang sangat besar dan sangat radikal,” kata Brown kepada wartawan sebelum rapat dengan pemimpin Uni Eropa yang membahas masalah krisis finansial ini di Brusel.

Dalam sebuah dokumen yang diberikan kepada para pemimpin Uni Eropa yang juga diperoleh AP, Brown menginginkan agar bank-bank berpikir ulang tentang bagaimana mereka mengelola risiko. Dia minta aturan yang mewajibkan bank-bank memiliki dana cukup untuk melindungi potensi kerugian, meningkatkan transparansi, dan mengeliminasi konflik kepentingan.

Sementara itu, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Francis Nicolas Sarkozy juga mendesakkan pertemuan G8 dalam waktu dekat. Merkel menyebutnya, reformasi dibutuhkan sehingga apa yang terjadi sekarang ini tidak terulang lagi.

Sarkozy mengatakan, pertemuan G8 itu sebaiknya digelar di New York, tempat dimulainya bencana ini. Sarkozy juga menyarankan untuk mengajak Tiongkok dan India dalam pertemuan itu.

“Reformasi fundamental dalam sistem keuangan tidak bisa hanya dilakukan di Eropa. Ekonomi ini global. Tidak ada negara yang dapat memproteksi dirinya sendiri,” kata Sarkozy. Ia mengatakan perlunya perbaikan menyeluruh dalam sistem finansial global.

Dari Tokyo, seperti dikutip dari Associated Press, Menteri Keuangan Jepang Shoichi Nakagawa juga angkat bicara setelah menyaksikan indeks Nikkei terkulai lebih dari 11% pada perdagangan Kamis kemarin. Menurut dia, nilai bail out yang ditawarkan pemerintah AS sebesar US$ 700 miliar dianggap belum cukup. Karena belum cukup itulah, bursa dunia kembali terpuruk. Ia mengatakan, negaranya siap berkontribusi dalam upaya meredam krisis finansial ini.

Dana bail out AS itu sangat kecil dibandingkan exposure aset beracun dalam kasus subprime morgage ini. Apalagi, dari US$ 700 miliar itu, sebanyak US$ 250 miliar akan dipakai untuk membeli saham-saham delapan bank papan atas AS, termasuk JP Morgan Chase, Bank of America, Goldman Sachs, dan Citigroup. O rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi 17 Oktober 2008

Monday, January 28, 2008

Dimainkan Saham

TIDAK, Ayah! Aku dan anak-anak tidak akan memakan uang hasil main saham.”

Seorang ibu bangkit dari kursi meja makan. Diskusi keluarga, antara suami dan istri tentang menginvestasikan uang di pasar saham pun usai. Sang istri bisa menerima argumen suaminya bahwa main saham bukanlah judi, meski masih ragu. Ragu karena ada saham syariah, ada indeks syariah.

Cerita tentang gain Rp 10 per saham yang lepas berubah menjadi potential loss hanya gara-gara ingin gain yang lebih besar. Maruk. Detik demi detik harga saham bergerak. (Di-)Naik-turun(-kan), tak terduga, dan berakhir dengan penyesalan. Ketika harga saham ditahan, harga malah melorot dalam hitungan detik atau menit. Ketika saham dilepas, harganya malah melambung hanya dalam hitungan jam atau hari. "Bandar, mafia saham lokal, yang bermain."

Sang suami masih di kursi di meja makan sambil menyudahi santap malam. Malam sekali. Segelas besar air disedotnya, dan pletak –suara gelas beradu dengan kaca pelapis meja makan. Ia tetap di kursinya sambil mengamati TV yang sedari tadi tak bersuara, karena disetel dalam posisi mute.

Tadi pagi, Senin 21 Januari 2008, indeks harga saham gabungan rontok 100 poin lebih. Sang suami masih terbayang-banyak akan kerugian yang dideritanya. Ia tak berani menjual portofolio sahamnya, dan berharap esok pagi indeks kembali pulih. Dan, yang lebih penting lagi, potential loss yang tercatat di bukunya berubah menjadi potential gain.

Selasa, 22 Januari 2008. Sang sumi tertidur setelah tugas rutin mengantar putrinya ke sekolah. Pukul sembilan lewat 25 menit ia terbangun. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menyalakan komputer. Mengoneksikan komputer dengan internet, dan masuk ke situs biasa, tempat ia bertransaksi. Istrinya sudah berangkat duluan. Tugas.

“Gila!” Sang suami menggaruk kepala yang tak gatal. Pasar bursa belum dibuka. Masih satu menit lagi dari pukul 09.30 WIB. Posisi indeks sudah minus 164 poin.

Tak mau menyaksikan kejatuhan bursa lebih dalam, komputer dimatikan. Ayah tiga orang putra itu tidur lagi. Tapi matanya tak bisa merem. Pikirannya terus ke portofolio saham miliknya.

Mendekati pukul 10, ia bangkit dan menyalakan lagi komputer. Indeks masih minus, bahkan makin telah melampaui 200. Komputer di-shut down lagi, dan kembali ke peraduan. Matanya masih saja melotot.

Ambil handuk, ke kamar mandi. Ambil odol, dioleh ke telapak tangan. Dan, ups... nyaris saja dibasuhkan ke muka. Ia berusaha menenangkan diri. Pelan-pelan seluruh tubuhnya diguyur air. Mandi seperti biasa. Keramas. Bergegas menuju markas kantornya.

“Ekonomi Amerika di ambang resesi!” Bursa di seluruh dunia ambruk. Mereka lantas menyebutnya sebagai Black Tuesday. Kejatuhan bursa hari ini merupakan yang terburuk setelah runtuhnya menara kembar di AS, World Trade Centre, pada 2001.

Time to buy!” Ini saatnya membeli saham. Saham yang ada jangan dulu dijual, tapi beli lagi.
“Gila! Duit dari mana? Lagi pula, kondisi global yang di ambang resesi, kok mau beli saham lagi. Iya, kalau besok, indeks rebound. Kalau terus terpuruk, gila aja lo!”

Hari itu, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup minus 250 poin. Saham PGAS yang selama ini bertengger di atas Rp 15.000 sudah menyentuh level Rp 10.000. Saham ANTM yang dua pekan lalu berada di level Rp 4.500 sampai Rp 5.000, tinggal Rp 2.900. BUMI yang biasanya di atas Rp 6.000 tinggal Rp 4.700.

Aneh. Investor asing kok ramai sekali bertransaksi beli. Di Bursa Efek Indonesia, di bursa Asia lainnya. “Gila!”

Sang suami masih belum bisa berpikir jernih. Potential loss dari portofolio sahamnya hampir 30% dari total nilai portofolionya. Pernyataan Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati tak membuatnya tenang.

Hari sudah gelap. Ia belum mau beranjak dari kursi di kantornya. Komputer di mejanya belum juga ditutup. Ia masih ingin menyaksikan bursa di New York. Indeks Dow Jones biasanya menjadi acuan. Kalau hijau, berarti ada harapan. Tapi kalau merah, bursa Indonesia dan regional bakal makin berdarah-darah.

“Gila!” Bank Sentral Amerika mengambil kebijakan drastis dengan memangkas suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin menjadi 3,5%. Sebuah langkah yang oleh orang awal tak terduga, tapi mungkin tidak oleh pemain saham global.

Dan, benar bursa di seluruh dunia pun ijo royo-royo. Investor yang pada kejatuhan bursa pada Black Tuesday mengambil posisi time to buy, pesta pora. Investor asing, terutama.

“Jangan-jangan investor asing, mereka yang besar-besar itu, mafia bursa dunia, sudah tahu bocoran bahwa bank sentral AS bakal memangkas Fed fund rate sebesar 75 basis poin. Lalu, mereka sengaja menghancurkan bursa global. Lalu dengan dana mereka yang tak terbatas, mereka memborong saham yang harganya sudah jatuh berguguran.”

Kali ini, ia termenung. Bukan memikirkan portofolionya. Bukan pula mafia bursa dunia. Juga bukan tentang ucapan sang istri yang tidak mau makan uang hasil main saham. Tapi tentang pikirannya sendiri yang dipermainkan mafia saham global, diperbudak oleh gain yang tidak seberapa, diperas dan dipaksa berpikir keras.

“Kenapa ayah membiarkan pikiranmu menjadi selalu galau, gundah, menjadi tidak tenang. Itu akan menjadi sumber penyakit.”

Lamat-lamat suara Iwan Fals melantunkan syair...
"Keinginan adalah sumber penderitaan
Tempatnya di dalam pikiran..." n rizagana


Tangerang, 28 Januari 2008