“TIDAK, Ayah! Aku dan anak-anak tidak akan memakan uang hasil main saham.”
Seorang ibu bangkit dari kursi meja makan. Diskusi keluarga, antara suami dan istri tentang menginvestasikan uang di pasar saham pun usai. Sang istri bisa menerima argumen suaminya bahwa main saham bukanlah judi, meski masih ragu. Ragu karena ada saham syariah, ada indeks syariah.
Cerita tentang gain Rp 10 per saham yang lepas berubah menjadi potential loss hanya gara-gara ingin gain yang lebih besar. Maruk. Detik demi detik harga saham bergerak. (Di-)Naik-turun(-kan), tak terduga, dan berakhir dengan penyesalan. Ketika harga saham ditahan, harga malah melorot dalam hitungan detik atau menit. Ketika saham dilepas, harganya malah melambung hanya dalam hitungan jam atau hari. "Bandar, mafia saham lokal, yang bermain."
Sang suami masih di kursi di meja makan sambil menyudahi santap malam. Malam sekali. Segelas besar air disedotnya, dan pletak –suara gelas beradu dengan kaca pelapis meja makan. Ia tetap di kursinya sambil mengamati TV yang sedari tadi tak bersuara, karena disetel dalam posisi mute.
Tadi pagi, Senin 21 Januari 2008, indeks harga saham gabungan rontok 100 poin lebih. Sang suami masih terbayang-banyak akan kerugian yang dideritanya. Ia tak berani menjual portofolio sahamnya, dan berharap esok pagi indeks kembali pulih. Dan, yang lebih penting lagi, potential loss yang tercatat di bukunya berubah menjadi potential gain.
Selasa, 22 Januari 2008. Sang sumi tertidur setelah tugas rutin mengantar putrinya ke sekolah. Pukul sembilan lewat 25 menit ia terbangun. Tanpa ba-bi-bu lagi, ia langsung menyalakan komputer. Mengoneksikan komputer dengan internet, dan masuk ke situs biasa, tempat ia bertransaksi. Istrinya sudah berangkat duluan. Tugas.
“Gila!” Sang suami menggaruk kepala yang tak gatal. Pasar bursa belum dibuka. Masih satu menit lagi dari pukul 09.30 WIB. Posisi indeks sudah minus 164 poin.
Tak mau menyaksikan kejatuhan bursa lebih dalam, komputer dimatikan. Ayah tiga orang putra itu tidur lagi. Tapi matanya tak bisa merem. Pikirannya terus ke portofolio saham miliknya.
Mendekati pukul 10, ia bangkit dan menyalakan lagi komputer. Indeks masih minus, bahkan makin telah melampaui 200. Komputer di-shut down lagi, dan kembali ke peraduan. Matanya masih saja melotot.
Ambil handuk, ke kamar mandi. Ambil odol, dioleh ke telapak tangan. Dan, ups... nyaris saja dibasuhkan ke muka. Ia berusaha menenangkan diri. Pelan-pelan seluruh tubuhnya diguyur air. Mandi seperti biasa. Keramas. Bergegas menuju markas kantornya.
“Ekonomi Amerika di ambang resesi!” Bursa di seluruh dunia ambruk. Mereka lantas menyebutnya sebagai Black Tuesday. Kejatuhan bursa hari ini merupakan yang terburuk setelah runtuhnya menara kembar di AS, World Trade Centre, pada 2001.
“Time to buy!” Ini saatnya membeli saham. Saham yang ada jangan dulu dijual, tapi beli lagi.
“Gila! Duit dari mana? Lagi pula, kondisi global yang di ambang resesi, kok mau beli saham lagi. Iya, kalau besok, indeks rebound. Kalau terus terpuruk, gila aja lo!”
Hari itu, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup minus 250 poin. Saham PGAS yang selama ini bertengger di atas Rp 15.000 sudah menyentuh level Rp 10.000. Saham ANTM yang dua pekan lalu berada di level Rp 4.500 sampai Rp 5.000, tinggal Rp 2.900. BUMI yang biasanya di atas Rp 6.000 tinggal Rp 4.700.
Aneh. Investor asing kok ramai sekali bertransaksi beli. Di Bursa Efek Indonesia, di bursa Asia lainnya. “Gila!”
Sang suami masih belum bisa berpikir jernih. Potential loss dari portofolio sahamnya hampir 30% dari total nilai portofolionya. Pernyataan Menko Perekonomian Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati tak membuatnya tenang.
Hari sudah gelap. Ia belum mau beranjak dari kursi di kantornya. Komputer di mejanya belum juga ditutup. Ia masih ingin menyaksikan bursa di New York. Indeks Dow Jones biasanya menjadi acuan. Kalau hijau, berarti ada harapan. Tapi kalau merah, bursa Indonesia dan regional bakal makin berdarah-darah.
“Gila!” Bank Sentral Amerika mengambil kebijakan drastis dengan memangkas suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin menjadi 3,5%. Sebuah langkah yang oleh orang awal tak terduga, tapi mungkin tidak oleh pemain saham global.
Dan, benar bursa di seluruh dunia pun ijo royo-royo. Investor yang pada kejatuhan bursa pada Black Tuesday mengambil posisi time to buy, pesta pora. Investor asing, terutama.
“Jangan-jangan investor asing, mereka yang besar-besar itu, mafia bursa dunia, sudah tahu bocoran bahwa bank sentral AS bakal memangkas Fed fund rate sebesar 75 basis poin. Lalu, mereka sengaja menghancurkan bursa global. Lalu dengan dana mereka yang tak terbatas, mereka memborong saham yang harganya sudah jatuh berguguran.”
Kali ini, ia termenung. Bukan memikirkan portofolionya. Bukan pula mafia bursa dunia. Juga bukan tentang ucapan sang istri yang tidak mau makan uang hasil main saham. Tapi tentang pikirannya sendiri yang dipermainkan mafia saham global, diperbudak oleh gain yang tidak seberapa, diperas dan dipaksa berpikir keras.
“Kenapa ayah membiarkan pikiranmu menjadi selalu galau, gundah, menjadi tidak tenang. Itu akan menjadi sumber penyakit.”
Lamat-lamat suara Iwan Fals melantunkan syair...
"Keinginan adalah sumber penderitaan
Tempatnya di dalam pikiran..." n rizagana
Tangerang, 28 Januari 2008
Monday, January 28, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Bagus banget buat bahan renungan kita semua. "Andaikan saja buah itu memang telah matang, tentu tak sulit menilainya. Hanya saja segolongan orang mempermainkannya dan melangkah lebih dahulu berlakon seperti Tuhan. Benarkah ada Tuhan bursa? Jawabnya ada, yaitu dirimu sendiri."
Post a Comment