Wednesday, July 15, 2009

Bung, Selamat!

“Hei! Mau kemana, Bang!”

Seseorang menyela, dan menghambat langkah salah satu pemilih dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009. Penghitungan suara baru saja dimulai. Belum separuh suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) itu dibuka, si Abang sudah ngeloyor kabur.

“Pulang! Tidur!”

Sejak awal penghitungan suara di TPS itu, keningnya berkerut. Ia tidak menyangka, setiap surat suara dibuka, panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) selalu meneriakkan tiga jenis kata, yang maksudnya sama. Yakni, "lanjutkan", “dua” atau “SBY”. Teriakan yang lain hanya sesekali atau malah nyaris tak terdengar.

“Gila!”

Ia mengumpat diri sendiri, dalam suara yang tertahan. Ia tak bisa mengerti, kenapa realita dalam debat capres dan cawapres di televisi dan komentar tokoh-tokoh nasional, ternyata berbeda dengan fakta suara yang menggema di TPS-TPS.

“Lantas, apa gunanya debat capres dan cawapres. Apa artinya komentar tokoh-tokoh nasional di televisi dan koran-koran itu? Pernyataan sekaligus ketetapan hati beberapa tokoh nasional, seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif dan mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, yang dituangkan dalam tayangan iklan. Bahkan ada yang sampai tega bersumpah demi arwah ibunya?”

“Aku heran....”

Yang lebih heran lagi, ternyata suara JK-Win, sebutan untuk pasangan capres Jusuf Kalla dan cawapres Wiranto, yang digadang-gadang bakal menjadi batu sandungan SBY-Boediono dalam putaran kedua, ternyata kalah dari Mega-Pro, sebutan untuk pasangan capres Megawati Soekarnoputeri dan cawapres Prabowo Subianto. Atau, jangan-jangan fakta itu hanya di TPS tempatnya mencoblos saja....

***

"Lebih cepat memang lebih baik!"

Teman sekantornya menyindir. Dia menoleh ke arah si empunya suara. Tapi belum sempat dia berkomentar, komentar lain muncul dari liang yang sama.

"Maksudku, kalau bisa satu putaran kenapa harus dua putaran!"

Lalu, bergemuruhlah laporan dari beberapa TPS yang disampaikan langsung teman-teman sekantornya. Intinya, pasangan SBY-Boediono memang terlalu 'perkasa' untuk lawan-lawannya.

“Hey, bung! Jawa dan non-Jawa masih punya arti bagi bangsa ini. Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Jawa, siapa sudi dipimpin oleh orang non-Jawa. Bukan bermaksud SARA, tapi demikianlah faktanya, bung!”

Seorang teman mencoba memberikan beberapa argumentasi, dengan gaya yang tak kalah hebat dari para komentator di televisi, yang sering disebut-sebut sebagai tokoh nasional, pengamat, politikus gaek, dan lain sebagainya.

“Itu pertama!"

"Kedua, negeri ini sudah merasa nyaman dan senang dengan keamanan dan kenyamanan yang diberikan selama ini. Paling tidak selama lima tahun terakhir ini. Negeri ini, yang nenek-moyangnya dijajah beratus-ratus tahun, belum membutuhkan pemimpin yang meledak-ledak, apalagi hanya jago berkoar-koar dan senang menepuk dada untuk menunjukkan jati diri (bangsa)....”

“Ketiga. Negeri ini pernah memiliki Soekarno, pemimpin revolusi yang disegani di dalam dan luar negeri, yang kalau berpidato berapi-api. Negeri ini pernah memiliki Soeharto,
the Smiling Genderal, yang juga disegani di dalam dan luar negeri, yang kalau pidato biasa-biasa saja. Keduanya menyisakan kisah sedih, bahkan menjadi stigma bagi bangsa ini.”

“Ketahuilah, negeri ini sudah lama menderita. Bahkan sangat menderita. Oleh karena itu, penderitaan akibat kenaikan harga BBM, kehilangan sebuah atau dua buah pulau, bahkan pelecahan atas jati diri bangsa, tak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan yang mendera nenek-moyangnya.”

Si Abang ingin meledakkan suara, rasanya, ketika temannya menguliahinya tentang kenaikan harga BBM, kehilangan pulau, dan terutama tentang jati diri bangsa. Tapi berusaha menekan suaranya di perut dan hatinya. Ia ingin mendengar lebih jauh tentang celoteh komentator yang -seperti komentator bola-- hanya jago mengomentari fakta dengan alibi kalau, seandainya dan seterusnya.

“Untuk mempertahankan sebuah blok di lautan --bukan pulau, lho-- kenapa harus berperang? Kalau masih bisa makan dan mencari nafkah, kenapa harus menyesali kenaikan harga BBM? Kalau ada orang lain lebih mampu menyelesaikan konflik di daerah, kenapa kita harus memaksakan diri untuk tampil. Kalau pemimpin sekarang sudah terbukti memberikan keamanan dan kenyamanan dalam hidup dan kehidupan ini, kenapa harus mempersoalkan neolib? Kalau dan kalau...”

Kalau... dan kalau benar hasil penghitungan cepat (
quick count) yang dilakukan berbagai lembaga riset dan survei itu. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono terpilih sebagai presiden dan wakil presiden ketujuh Republik Indonesia untuk periode 2009-2014.

“Bung, Selamat! Lanjutkan!” Si Abang akhirnya mendekati si komentator dan menyalaminya. Namun, keheranannya masih menyelimuti hati dan pikirannya.

Sebuah prestasi luar biasa. Atau memang banyak orang yang tidak biasa dalam melihat realitas bangsa ini. Mereka yang terlalu lama duduk di ruang-ruang ber-AC dengan suguhan Lemon Tea atau Cappucino Latte dan sambil mengumbar teori-teori moderen tentang kepemimpinan. Tidak banyak, mungkin hanya segelintir. Tapi suara-suara itu digemakan lewat corong-corong yang bernama koran, majalah, radio, televisi, dengan bahasa yang rada njlimet agar mereka yang nun di sana, yang masih akrab dengan teh dan kopi bisa beralih ke Lemon Tea atau Black Cappucino.