Sunday, November 04, 2007

'Apa Kata Dunia'

“Jenderal! Turunkan tangan kau, Jenderal. Turunkan, Jenderal!”

Jenderal Nagabonar terisak-isak dan terseok-seok meniti tali menaiki patung Jenderal Soedirman di tengah jalan protokol di Jakarta.

Nagabonar, yang pencopet itu, tidak rela jenderal pujaannya memberi hormat kepada siapa saja di jalan raya yang dipadati kendaraan roda empat. Siapa pula yang dihormati Jenderal Soedirman itu siang dan malam? Pertanyaan yang mirip dilontarkan Nagabonar ketika menyambangi Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta. “Apakah semua yang dimakamkan di sini, pahlawan?”

Anak-anak terkekeh-kekeh menyaksikan adegan film dari DVD bajakan yang dibelikan orang tuanya.

Di luar rumahnya, anak-anak bangsa ini juga sedang tertawa terbahak-bahak. Bukan karena tingkah polah Nagabonar. Tapi menertawakan diri sendiri dan orang lain atas tingkah-polah orang asing di negerinya.

Khususnya dalam pekan-pekan terakhir ini. Sebuah perusahaan konglomerat Singapura sedang menunggu vonis dari Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia dan di Jakarta. Melinda Tan, juru lobi Temasek, kembali harus pergi-pulang Jakarta-Singapura. Ini berkaitan dengan dugaan monopoli Temasek dalam industri telekomunikasi Indonesia.

Sebuah perkara yang sudah lama. Paling tidak sejak Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) membeli sekitar 42% saham PT Indosat pada 2002. STT adalah anak usaha Temasek. Jauh sebelumnya, Temasek melalui Singapore Telecommunications Ltd (SingTel) telah memiliki 35% saham PT Telkomsel. Konglomerat dari Singapura itu dituduh melanggar UU No 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal 27.

Jadilah, sepekan terakhir ini, ditambah pekan ini, berita tentang Temasek menghiasi media massa di Indonesia. Sumbernya rata-rata orang Indonesia, pengamat ekonomi, pejabat, dan tidak ketinggalan anggota DPR. Ada (banyak) yang mendukung Temasek, dengan mengatakan bahwa Temasek tidak melakukan kepemilikan silang (cross ownership). Dan, macam-macam lagi argumentasi yang dikemukakan, menyudutkan anggota KPPU yang sedang bekerja, bahkan sampai menghujat anak bangsa sendiri.

"Apa kata dunia!" kata mereka yang mendukung Temasek. Ini soal investasi asing. Ini tentang kepastian hukum dan berusaha. Ini mengenai anggota KPPU yang dituduh menerima suap.

Tapi, tak sedikit pula yang mendukung. Entah, mereka benar-benar mendukung dengan logika berpikir yang jernih dan keilmuwan yang bisa dipertanggungjawabkan. Atau itu sekadar olah vokal, demi menanti royalti dari lagu yang dinyanyikan. Lalu tutup mulut, atau bahkan balik mendukung Temasek dan dengan gagah berani ‘menyerang’ anak bangsa sendiri.

"Apa kata dunia!" Mereka yang mendukung KPPU lantang bersuara. Lebih lantang dan kental logat Medan-nya daripada orang Medan. Ini soal harga diri bangsa. Ini tentang dan mengenai dunia yang sesungguhnya tak bisa berkata-kata.

Apa peduli dan siapa peduli dengan putusan KPPU tentang monopoli Temasek itu, sejatinya? Tak perlu pulalah menyebut siapa yang mendukung, siapa yang menentang. Tak lagi menarik mengatakan, putusan itu akan memengaruhi masuknya investor asing di Indonesia. Soal Singapura, yang katanya banyak ‘menyembunyikan’ konglomerat hitam dan koruptor plus hasil jarahannya itu, juga tak perlu dibahas.

Karena hasil putusan KPPU itu sejatinya menjadi tidak penting lagi dibahas. Apapun putusan yang dijatuhkan oleh KPPU, bangsa ini benar-benar sudah tercabik-cabik. Anak bangsa ini sudah diaduk-aduk dan diadu-domba dengan begitu mudahnya. Gampang sekali. Segampang menumpahkan darah bangsa sendiri.

Ranah pemikiran tidak lagi penting, apakah ia benar secara keilmuwan atau sekadar cuap-cuap agar suap demi suap masuk ke dalam mulutnya. Kebenaran toh bisa disembunyikan di balik baju lembaga yang mentereng, di balik safari jabatan yang tebal, di balik ketiak tuan-tuan berkantung tebal.

Jadi, untuk apa sebenarnya membahas masalah ini. Juga mengada-ada atau bahkan akan ditertawakan secara berirama kalau ada yang bilang, “Hey! Ini menjelang Hari Pahlawan. Tanggal 10 November itu tinggal beberapa hari lagi! Apakah mereka-mereka yang pro dan kontra itu ingin menjadi pahlawan?”

Ah, lebih baik melanjutkan menonton film Nagabonar 2 dari DVD bajakan seharga sepuluh ribu perak. Meski, lama-lama sogan terkenal dari Nagabonar "apa kata dunia" itu tak lucu lagi. Justru adegan pro dan kontra tentang kasus cross ownership itulah yang lucu dan menggelikan sekaligus menyedihkan. o

Jakarta, 4 November 2007

Thursday, October 18, 2007

Belitang

MUDIK. Meninggalkan Jakarta dan kemacetannya. Menjauhi kesibukan dan tekanan dead line dan portofolio saham yang tiap hari menerjang pikiran. Menjelang Gema Takbir, menyongsong kampung kelahiran dan masa-masa remaja.

Di tengah pasar, di kelilingi hijau sawah-sawah yang membentang, di sisi sungai kecil jaringan irigasi yang setiap 3-5 kilometer dibendung agar mengairi sawah-sawah milik penduduk.

Di antarkan jalan beraspal mulus di sisi sungai kecil yang disodet dari Sungai Komering itu. Itu adalah jalan masuk ke kampung, setelah 24 jam (hari biasa cuma 12 jam) menyusuri Jakarta-Merak-Bakauheuni-Bandar Lampung-Kotabumi-Bukit Kemuning-Martapura-Belitang.

Di gerbang Belitang, sebuah tugu raksasa bertuliskan Selamat Datang di Kota Terpadu Mandiri (KTM). Sejak kapan? Bukankah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno baru saja mengumandangkannya?

Deru sepeda motor menyesaki jalan, beriring-iringan, memagari setiap mobil yang lewat. Dulu, tiga tahun lalu, cuma ada beberapa sepeda motor, selebihnya adalah iring-iringan sepeda angin. Kendaraan itulah yang mengantarkan mereka ke sekolah, berniaga ke pasar, atau mengunjungi handai-tolan.

Memasuki Gumawang, ibukota Kecamatan Belitang, rumah-rumah toko yang dulu bertingkat papan dan kayu, kini full beton. Toko-toko pun makin beragam. Mulai dari handphone dan asesorinya hingga dealer motor berjejer. Ada juga toko elektronika, termasuk komputer dan laptop. Di sisi lain berjejer toko grosir untuk beragam barang diselingi kantor bank, Bank Sumsel atau BRI.

Tiga tahun lalu masih ada kawan atau kerabat yang menanyakan mobil yang dibawa ke kampung. (Padahal yang dibawa mobil sewaan). Kali ini tidak ada. Mobil mereka lebih mewah, bahkan mereka punya lebih dari satu mobil. Kijang Inova, Honda CRV hingga Mitsubishi double cabin.

Bangga bercampur heran. Ada apa gerangan dengan (perekonomian) kampung yang berjarak 120 kilometer dari Palembang, yang selama ini dijuluki Lumbung Padi Sumatera Selatan itu.

“Karet!” jawab mereka pendek.

Teringat pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika mampir dan shalat Jumat di Masjid Agung Gumawang, Belitang pada 28 Januari 2005. Tepat 100 hari setelah ia dilantik jadi presiden. Ia datang ke kampung itu dalam rangka Panen Raya Padi. “Kita tidak ingin pengusaha kuat makin kuat, sementara petani dan nelayan makin terjepit dan makin miskin,” kata Presiden.

Di sela pidatonya, ia menyebut karet dan kelapa sawit. Ia pun menyerahkan bibit tanaman karet dan kelapa sawit.

Tentu, bukan bibit dari Presiden yang membuat rakyat Belitang makmur seperti itu. Karena karet baru bisa dipanen setelah tanaman karet berusia lima tahun. Paling tidak Presiden sudah mendapat informasi tentang gairah penduduk Belitang menanam karet. Kedatangan
Presiden dan pemberian bibit karet dan sawit itu pun tentu tak dimaksudkan agar petani meninggalkan tanam padi.

Tapi kini, karet adalah masa depan petani. Sekarang separuh pendapatan petani di Sumsel berasal dari karet.

Apalagi harga karet dunia saat ini sudah US$ 2,1 per kg. Karet petani di Belitang dihargai separuhnya, cuma Rp 9.000 per kg. Satu hektare tanaman karet bisa menghasilkan dua ton karet per tahun atau setara Rp 18 juta per tahun. Tak sedikit petani yang memiliki 5-10 hektare. Modal awalnya cuma Rp 15-an juta per hektare. Dan, sekali menanam karet, seumur hidup bisa memetik hasil karena tanaman karet bisa dipanen hingga usia 30 tahun. Bagi petani yang memulai usaha pada usia 30 tahun, karet adalah tanaman untuk seumur hidup petani.

Hitung-hitungan pejabat Dinas Perkebunan Sumsel, produksi karet kering Sumsel pada 2006 mencapai 700 ribu ton karet kering per tahun atau hampir 2.000 ton karet per hari. (Produksi karet nasional pada 2006 sekitar 2,1 juta ton). Hampir semuanya diekspor dengan nilai US$ 762 juta per tahun.

Angka itu murni dari karet, belum termasuk upah yang diterima anggota keluarga atau kerabat dan tetangga yang menjadi tenaga pemelihara dan penyadap karet, pengangkut ke truk untuk dikirim ke pembeli, serta buruh-buruh di pabrik karet. Mereka itu semua yang menggerakkan ekonomi Belitang, kampung transmigrasi di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan. Mereka yang rata-rata tinggal di sekitar kota (sudah bisa disebut kota kah?) Gumawang.

Lamunan pun menerawang jauh hingga ke pelosok kampung lain di Nusantara ini. Teringat cerita teman dari Bojonegoro, Jawa Timur tentang perkebunan tembakau yang pernah ‘memaksa’ petani membeli kulkas untuk lemari pakaian, karena tak ada listrik. Pernah pula membaca berita di koran tentang mobil mewah Pajero yang laris bak kacang goreng di Sulawesi Selatan karena komoditi udang yang lagi naik daun. Kemudian cerita itu hilang ditelan angin.

Ada kekhawatiran dari pejabat di Sumsel tentang komoditas karet ini. Gejolak harga bukan hanya akan memengaruhi penghasilan keluarga Belitang, tapi juga cicilan kredit motor, mobil, dan rumah toko pun bisa tersendat. Harga karet bergejolak, bank bisa tersedak. Ekonomi daerah bisa batuk-batuk.

Kekhawatiran lain adalah hilangnya julukan Lumbung Padi yang selama ini melekat di Belitang karena konversi lahan sawah menjadi karet atau karena tak ada lagi yang mau menanam padi. Akankah presiden mendatang mengunjungi Belitang, seperti pendahulunya dari Soeharto, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono untuk panen raya?

“Ah, untuk apa kampung kita selalu didatangi presiden kalau tak ada hasilnya,” sergah seorang teman. Karet kan bisa melar.
n rizagana

Tangerang, 18 Oktober 2007

Tuesday, July 03, 2007

Kemiskinan Angka


HARI ini, sebuah gambaran tentang warga Indonesia bertebaran di Tanah Air. Di media cetak maupun elektronika. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tentang penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada Maret 2007, jumlah orang miskin absolut berkurang sebanyak 2,13 juta orang, dari 39,30 juta orang menjadi 37,17 juta orang pada Maret 2006. Secara persentase, angkanya juga turun dari 17,75% menjadi 16,58%. Jadi, kalau ada enam orang Indonesia berkumpul, pasti ada satu orang yang tergolong miskin absolut.

Pada saat yang sama, BPS juga mengumumkan, angka garis kemiskinan juga naik. Pengeluaran maksimum mereka yang tergolong miskin absolut sebesar Rp 166.697 per kapita per bulan. Angka garis kemiskinan itu naik 9,67% dibanding Maret 2006 yang sebesar Rp 151.997 per kapita per bulan.

Artinya, ada 37,17 juta orang sebangsa yang masih berpendapatan (sehingga hanya bisa membelanjakan) maksimum sebesar Rp 5.557 per orang per hari. Atau, kalau satu keluarga di Indonesia rata-rata terdiri atas suami, istri dan dua anak (empat anggota keluarga), berarti setiap hari keluarga itu cuma bisa belanja sebesar Rp 22.226 per hari atau Rp 666.788 per bulan.

Angka belanja yang lumayan, sesungguhnya, kalau sekadar untuk menyambung hidup. Tapi persoalannya, hidup tak melulu untuk makan. Ada biaya sekolah, biaya kesehatan, dan biaya rokok, ngopi di warung yang sesungguhnya masuk biaya entertainment juga.

Pusing juga kan melihat angka-angka itu. Angka bukan sembarang angka, tapi uang. Ya, pusing. Justru angka itu pula, sejatinya, yang membuat rumit negeri ini.

Secara total, atas dasar nilai garis kemiskinan itu, pengeluaran seluruh orang miskin di Indonesia itu maksimum sebesar Rp 6,2 triliun per bulan atau sekitar Rp 74,35 triliun per tahun (setara dengan nilai subsidi BBM pada 2005).

Dalam APBN 2007, (klaim) pemerintah menyisihkan dana kemiskinan sebesar Rp 52 triliun. Sebenarnya, kalau benar dana APBN itu tersalur ke orang miskin, ah, persoalan kemiskinan di Indonesia harusnya sudah selesai. Tahun ini seharusnya tak ada lagi orang miskin di Indonesia.

Itu pertama. Kedua, BPS menyatakan, sebanyak 74,38% dari pengeluaran warga miskin itu adalah untuk belanja untuk makan, dan sisanya untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan, persoalan kemiskinan di Indonesia juga lebih gampang teratasi. Bukankah pemerintah (lagi-lagi) mengklaim, biaya sekolah dan kesehatan sudah gratis? Pemerintah juga sudah mengucurkan beras untuk rakyat miskin yang tiap tahun nilainya tak kurang dari Rp 3 triliun.

Lagi-lagi, kalau semua itu benar ada dan sampai ke orang miskin, harusnya persoalan kemiskinan di Indonesia sudah selesai alias tak ada lagi orang miskin di Indonesia.

Tapi, apalah arti sebuah angka. Pemerintah boleh-boleh saja mengklaim telah menyiapkan dana Rp 52 triliun untuk program kemiskinan. Sebelumnya ada dana kompensasi kenaikan harga BBM sebesar Rp 17 triliun untuk orang miskin. Raskin, sekolah, dan biaya berobat gratis. Faktanya telah disampaikan BPS, angka kemiskinan cuma turun 1,2%.

Sekali lagi, apalah arti sebuah angka. Pengamat Ekonomi dari Universitas gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir tak tertarik membahas angka-angka itu, termasuk penurunan angka kemiskinan berikut peningkatan garis kemiskinan itu. Ekonom dari Tim Indonesia Bangkit (TIB), bukan tak tertarik, tapi tak percaya.

Ayo, siapa yang tertarik membahas angka-angka itu? Atau ada yang percaya dengan angka yang disampaikan BPS tentang penurunan angka kemiskinan itu dan dana yang disiapkan pemerintah untuk program kemiskinan? Angka kemiskinan atau kemiskinan angka? Program kemiskinan atau program pemiskinan? Tapi jujur saja, pembahasan dan pembicaraan tentang kemiskinan dan orang miskin bisa membebaskan orang dari kemiskinan, lho! n (rizagana)

Tuesday, March 27, 2007

Gombalisasi 2030

“Are you Indonesia?”

Seorang pria menyapa dua wanita di salah satu sudut Pulau Sentosa, Singapura, dengan tatapan penuh harap. Kedua wanita itu sedang berbincang dalam bahasa Betawi.

“Yes, we are!” Spontan keduanya menjawab.

“Sama dong!”

Mereka sama-sama menyalahkan, “sudah tahu orang Indonesia, pakai bahasa Indonesia, masih nanya? Pakai bahasa Inggris pula!”

Lalu mereka padu, berdialog dalam bahasa yang sama, elo-gue. Mereka berjalan beriringan, bercerita, berkeluh kesah.
Belasan tahun berlalu. Perjalanan itu pun mengantarkan mereka ke kampung halamannya. Dan, mereka masih melanjutkan pembicaraan dengan bahasa, bukan bahasa ibu mereka. Juga dengan orang lain. Di lingkungan keluarga, pergaulan, tetangga, dan pekerjaan. Tak apa menggunakan bahasa Inggris ala Tukul di Empat Mata.

“Ini tuntutan globalisasi, bung!”

Nama perusahaan tempat mereka bekerja tidak terkesan mentereng kalau tidak ada embel-embel asing, meski akhirnya disingkat juga agar mudah diingat. Perusahaan besar yang dulu dipaksa Joop Ave, menteri Pariwisata era Soeharto, untuk menggunakan Bahasa akhirnya kembali lagi. Kalau tidak berganti nama, ia berganti pemilik. Nama asing, dan dimiliki orang asing.

Bank-bank yang dulu membanggakan, kini telah milik asing. BCA, Danamon, Niaga, Lippo, BII, Panin, NISP.... Perusahaan telekomunikasi, Indosat, Telkomsel, Exelcomindo.... Perusahaan ritel juga, kecuali Grup Matahari. Usaha tambang, minyak dan gas, jangan ditanya. Negeri ini tengah menyiapkan menggelar karpet merah dalam bentuk aturan atau kebijakan bagi masuknya investasi asing.

Juga bidang-bidang lain, seperti manufaktur semen, tekstil dan produk tekstil. Serta jasa-jasa. Mulai dari perkapalan, teknologi informasi, dan di pasar modal. Ada kekompakan di antara orang-orang pemegang kebijakan dan stafnya, serta para wakil rakyat di DPR untuk ‘membiarkan’ dan menggelarkan karpet Istambul --UU Penanaman Modal, UU Perpajakan, dan UU Ketenagakerjaan, UU Migas, Minerba-- untuk tuan-tuan dari negeri seberang bisa ngerumpi asyik di beranda rumah sambil minum teh, kopi atau susu sambil mencicipi masakan khas Indonesia dan keramahtamahannya. Seolah rumah ini milik mereka, mereka yang atur.

Tapi masih ada BUMN, kan? Itulah yang mengkhawatirkan, sesungguhnya. Pemerintah juga sedang berancang-ancang untuk melego perusahaan milik negara, yang berarti juga milik rakyat dan bangsa ini. Alasannya pun sepele, yakni untuk menambal kekurangan pembiayaian urusan kepemerintahan atau karena BUMN itu kurang terurus.

“Ini kan globalisasi, bung!”

Wilayah negara seperti tanpa batas. Siapa saja bisa keluar-masuk dan bahkan bisa menetap, beranak-pinah, berkuasa, dan ‘menjajah’ lagi. Ketika negara-negara lain sibuk mengatur dan memagari kiprah asing di negaranya, memproteksi produk dalam negeri, sebagian orang Indonesia justru ramai-ramai terbius dolar-dolar yang terbawa arus globalisasi. Demi dapur, kemehawan keluarga, keglamoran hidup, ‘kelangsungan’ usahanya, bahkan demi kekuasaan.

Beras diimpor, pasir laut diekspor, konsentrat tambang yang dikeruk dari tanah tak usahlah diteliti mengandung emas atau tembaga, tak apalah negara lain menggunakan negara tercinta ini untuk transhipment (mengekspor) produknya, biarkan saja barang-barang selundupan membanjiri pasar dalam negeri. Untuk apa repot-repot. Pragmatis saja. Toh tak ada yang tahu. Rakyat? itu pun sudah ada wakilnya di DPR. Mereka cukup dikasih gaji dan tunjangan yang besar plus mesin cuci dan laptop.
Ini bukan lagi monopoli birokrat dan aparat, juga wakil rakyat. Dokter tak peduli pasien sehat, asal koceknya penuh dengan komisi dari produsen obat. Pengacara menganggap keadilan itu ada di dalam dompet. Tukang ojek, pedagang kaki lima membolehkan diri mangkal di mana saja. Juga wartawan benar-benar telah menjadi pilar keempat demokrasi, mengikuti jejak eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semua bisa diatur.

Saudagar dan eksekutifnya melupakan pegawai yang serba kekurangan, kualitas dan keamanan produk yang dijual, serta aturan yang bisa diterabas. Kalau perlu uang perusahaan dimainkan. Suatu kala meneriaki pemerintah, dan menghardik buruh. Kala lain menyanjung mereka dengan nada-nada optimistis yang menggelorakan. Hei, tahukah kalian, pada 2030, ekonomi Indonesia akan menjadi lima negara terbesar di dunia! Tahun lalu, PricewaterHouseCoopers, perusahaan jasa keuangan top dari AS, juga berpendapat seperti itu, meski waktunya adalah 2050.

Apa salahnya mengikuti pola pikir orang asing itu. Mungkin saja ada sambutan dari RI-1, dan bisa menjadi P-1 (penguasa nomor) di Tanah Air, seperti era lalu. Dan, apa salahnya pula kalau ‘aku’ bertanya dalam bahasa Inggris kepada dua cewek berlogat Betawi di Pulau Sentosa itu. Mungkin saja ada sambutan hangat, dan bisa melanjutkan arus gombalisasi itu. n rizagana

Thursday, February 22, 2007

Forum CGI

“Selamat pagi, Pak!”

Suara merdu dari di balik gagang telepon genggam itu memperkenalkan diri, merayu, dan menawarkan personal loan kepada pemegang kartu kredit. Ia pegawai sebuah bank asing.

Ia mulai dari ucapan, “Selamat ya Pak! Bapak terpilih sebagai nasabah yang beruntung mendapat tawaran kredit murah tanpa jaminan, tanpa tetek bengek urusan administrasi. Bapak setuju, uang akan langsung ditransfer ke rekening yang Bapak mau!”

Ogah karena bunganya sekitar 18% per tahun. Tapi sediakanlah waktu untuk melayani rayuan suara merdu itu. Maka kata-kata pembuka tadi akan diulang-ulang. “Atau, Bapak pikir-pikir dulu. Dalam satu dua hari ini, saya akan telepon lagi.”

Pada hari berikutnya, kata-kata pembuka itu akan diulangi lagi hingga pegawai bank itu pasti, tawarannya ditolak.

Kejadian semacam itu pasti tidak hanya menimpa Anda. Ada ribuan, bahkan jutaan pemegang kartu kredit yang ‘dikejar-kejar’ bank. Bukan untuk ditagih oleh debt collector yang sangar-sangar karena tunggakan cicilan, melainkan untuk dipinjami uang.

Itu pula yang terjadi pada Pemerintah (Rakyat?) Indonesia. Puluhan tahun negeri ini menjadi pemegang kartu kredit dari lembaga keuangan multilateral dan negara donor. Forum Inter Goverment Group for Indonesia (IGGI) yang dipimpin Belanda telah dibubarkan pada era 90-an. Sebagai gantinya dibentuk Forum Consultative Group on Indonesia (CGI). Ini pun akhirnya dibubarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 26 Januari 2007.

Ada yang memuji, ada yang mencemooh. Tapi ada juga yang mengingatkan bahaya negosiasi utang luar negeri yang dilakukan bilateral (bukan lewat forum atau multilateral). Peluang KKN makin besar. Ada-ada saja!

Entahlah! Tapi mengikuti diskusi yang digelar Earnst & Young pada Senin (19/2/07), ada sesuatu yang lain. Dedengkot tiga lembaga keuangan multilateral, Bank Dunia (Andrew Steer), Dana Moneter Internasional (Stephen Schwartz)), dan Bank Pembangunan Asia (Edgar Cua) menjadi pembicara. Dua mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Arifin Siregar dan Adrianus Mooy tampil sebagai moderator dalam diskusi bertajuk Post CGI Era: Economic Policies and Mechanism. Ada dua moderator, lho!

Para pembicara itu, seperti biasa, memuji langkah pemerintah memperbaiki perekonomian Indonesia sambil menyelipkan saran-saran ini-itu, yang saran itu tidak pernah berubah sejak belasan atau bahkan puluhan tahun lalu: beri kesempatan selebar-lebarnya kepada investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.

Maka ketika Forum CGI telah dibubarkan, ada kegamangan yang sangat dari lembaga keuangan multilateral itu. (Juga sebagian besar pesertanya?) Peserta diskusi ada seratusan, yang berasal dari beragam institusi. Ada dari Kadin Amerika Serikat, pejabat dari negeri Solomon, juga Hartojo Wignjowijoto yang anti dan menyebut aksi lembaga multilateral sebagai bentuk neokolonialisme.

Usai diskusi yang cuma dua jam itu, salah seorang peserta membisiki. “Kita ini nasabah besar yang good boy. Ketika kartu kredit dibelah, Forum CGI dibubarkan, mereka (lembaga keuangan multilateral) kelimpungan. Mereka tak bisa menolak, kecuali menerima. Tapi mereka tidak akan berhenti untuk terus menawarkan dananya, dan dengan segala cara.”

Diskusi yang dihadiri dedengkot dari tiga lembaga keuangan multilateral itu adalah salah satu caranya. Laporan penelitian, hasil survei, dan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan adalah cara lain. Dan, mereka tidak bertepuk sebelah tangan, ketika Deputi Menko Perekonomian bidang Kerjasama Internasional Mahendra Siregar yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan diskusi dan konsultasi dalam forum yang tidak resmi dengan bekas anggota Forum CGI.

“Dan,” bisik peserta diskusi tadi, “Forum CGI (juga IGGI) adalah forum kongkow-kongkow yang resmi. Keren-nya forum diskusi dan konsultasi.”

Jadi, teringat suara merdu utusan bank asing yang menawarkan personal loan. Ah, seandainya tidak melalui telepon, dan ada pertemuan tidak resmi, itu pasti lain ceritanya! Bisa juga jadi forum CGI alias cari gadis idaman. n rizagana


22 Februari 2007