Tuesday, January 06, 2009

Depkominfo dan BKPM Bungkam Asing dalam Bisnis Menara (bag. 1 dari 2 tulisan


Tahun 2008, industri telekomunikasi Indonesia, paling tidak dua kali berhadapan dengan regulasi pemerintah tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 111 Tahun 2007. Dua-duanya selalu melibatkan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada kasus pertama, Depkominfo mengeluarkan aturan yang melarang investor asing masuk dalam bisnis menara telekomunikasi, yang bertentangan dengan Perpres DNI. Kedua, Depkominfo tak kuasa saat Qtel berniat mengakuisisi 65% saham PT Indosat tanpa harus memisahkan bisnis jaringan tetapnya. Kedua kasus itu menunjukkan kepada khalayak, betapa semua bisa diatur di negeri ini, sekalipun melanggar aturan.


Pada awal 2008, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh mengeluarkan regulasi tentang Menara Bersama yang tertuang dalam Peraturan Menkominfo No 2/2008. Aturan itu melarang investor asing untuk berbisnis dalam penyediaan menara telekomunikasi.

Aturan itu hadir sebagai kepedulian pemangku kepentingan, Menkominfo, terhadap industri dalam negeri. Dasarnya adalah hampir seluruh belanja modal industri telekomunikasi telah tersedot ke luar negeri dalam bentuk perangkat jaringan infrastruktur hingga perangkat penerima yang ada di konsumen (pesawat telepon genggam). Bahkan, investor asing telah menguasai sebagian besar saham perusahaan telekomunikasi Indonesia.

Itulah yang dikatakan Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar saat menjelaskan latar belakang terbitnya aturan menara yang menolak asing itu. Penyediaan menara merupakan lini bisnis yang bisa diusahakan lokal tanpa campur tangan asing. "Saya rasa semua pihak akan solid mendukung aturan menara ini tanpa ada resistensi," kata Basuki.

Namun, persoalannya bukan di situ, melainkan Peraturan Menkominfo itu dianggap menyalahi aturan di atasnya, yakni Perpres No 111/2007 tentang DNI. Oleh karena itu, aturan itu memancing reaksi dari pengusaha nasional. Ketua Umum Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Sofyan Wanandi khawatir, hal itu bakal mengganggu iklim investasi di sektor telekomunikasi.

"Kita tidak berhak menutup pintu bisnis menara bagi asing karena jelas-jelas menyalahi UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Lagipula, masalah menara tidak diatur dalam DNI," ujar Sofjan Wanandi kala itu.

Ekonom dari CSIS Pande Radja Silalahi, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) ATSI Agus Simorangkir, ekonom dari CSIS Pande Radja Silalahi, dan Wakil Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi lantang menentang Peraturan Menkominfo itu. Juga, dengan alasan yang sama seperti dilontarkan Sofjan Wanandi. Mastel, bahkan mengirim surat resmi kepada Menkominfo, mempertanyakan aturan itu.

PT Excelcomindo Pratama (EP) yang tengah berancang-ancang memisahkan bisnis menaranya untuk kemudian dijual kepada pihak ketiga pun ikut-ikutan mempertanyakan aturan itu. Ada 7.000 menara yang akan dipisah dan dijual itu dan nilainya ditaksir sekitar Rp 7 triliun.

Dirut PT EP Hasnul Suhaimi mengatakan, persoalan bisnis menara itu bukan pada masalah teknis, melainkan soal permodalan. Kalau jumlah menara di Indonesia saat ini 50 ribu dan investasinya butuh Rp 1 miliar per menara, berarti dana yang dibenamkan di bisnis menara mencapai Rp 50 triliun.

“Dana sebesar itu, kalau bukan pemodal asing, siapa yang sanggup. Kalaupun bisa mungkin dari pinjaman bank,” kata Hasnul. Namun, apa yang bisa dilakukan Hasnul dan PT EP, kecuali comply alias manut saja terhadap setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Asdep Telematika dan Utilitas Deputi V Menko Perekonomian Eddy Satriya merasa tidak pernah ada koordinasi soal perumusan aturan yang melarang asing masuk dalam bisnis menara. Seharusnya, untuk menutup sektor tertentu bagi asing terlebih dulu dikoordinasikan dengan kantor Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan pihak terkait, seperti BKPM dan tim Peningkatan Ekspor Peningkatan Investasi (PEPI) di Depdag.

“Selebihnya, tentu harus mendapat persetujuan dari presiden dengan cara membuat Perpres yang baru menggantikan Perpres No 111/2007,” kata Eddy Satriya.

Depkominfo yang dipimpin Muhammad Nuh sempat bungkam juga dihantam kiri-kanan, meski mereka tetap keukeuh pada pendiriannya. Apalagi ada dukungan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang disampaikan Heru Sutadi, dan pengusaha nasional yang bergerak di bidang penyediaan menara, Dirut PT Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower) Wahyu Sakti Trenggono.

Depkominfo makin teguh ketika Kepala BKPM M Luthfi lantang bersuara dalam seminar bertajuk Prospek Menara Bersama bagi Pengembangan Industri Telekomunikasi Indonesia pada 17 April 2008. Didampingi Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar, Luthfi mengatakan, “Ini adalah kampung kita. Untuk bisnis menara, kita ingin dikerjakan sendiri oleh pengusaha dalam negeri. Ini komitmen kita bagi pengusaha nasional.”

Bersama Dirjen Postel Depkominfo, lanjut Luthfi, BKPM telah melaporkan masalah ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu, semua diam, meski hingga kini belum ada perubahan atas Perpres No 111/2007 itu.

BKPM dan Bapepam Bungkam Depkominfo di Indosat (2/habis)

Di penghujung 2008, Menkominfo Muhammad Nuh terhuyung. Ia angkat tangan, lalu angkat bicara. Dua bulan lebih ia bertahan dengan pendiriannya untuk menegakkan aturan. Ini berkaitan dengan keinginan Qatar Telecom (Qtel) mengakuisisi 65% saham PT Indosat Tbk.

Bukan maksud Menteri untuk membendung keinginan Qtel menguasai mayoritas saham Indosat, mantan rektor Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) itu cuma ingin menegakkan aturan. Yakni, aturan yang dia abaikan ketika menerbitkan Peraturan Menkominfo No 2/2008 yang melarang asing masuk dalam bisnis menara. Itulah Perpres No 111/2007 tentang DNI.

Dalam kasus Qtel dan Indosat itu, Menkominfo keukeuh, investor asing, siapa pun dia, harus mengikuti aturan DNI. Yakni, untuk perusahaan telekomunikasi yang memiliki lisensi telepon tetap, investor asing hanya boleh menguasai maksimal 49% sahamnya, sedangkan untuk telepon selular boleh sampai 65%.

Indosat adalah perusahaan telekomunikasi yang memiliki lisensi paling lengkap. Mulai dari lisensi jaringan tetap, fixed wireless access (FWA), sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI), dan seluler hingga 3G dan 3,5G.

Oleh karena itu, sesuai Perpres No 111/2007 itu, Qtel tidak bisa mengakuisisi 65% saham Indosat. Kalau Qtel tetap ngotot dengan angka 65%, perusahaan telekomunikasi dari Qatar itu harus memisahkan lisensi jaringan tetap, yang terdiri atas StarOne (FWA), dan SLJJ.

“Peraturan yang mengharuskan pemisahan itu. Bunyinya 49% untuk jartap dan 65% untuk seluler,” ujar Menkominfo.

Persoalannya, seperti diungkapkan manajemen Indosat (Investor Daily, 12 November 2008), seluruh lisensi yang dimiliki Indosat itu sudah terintegrasi sedemikian rupa. Mulai dari jaringan cabang, karyawan, billing system, jaringan infrastruktur, hingga pengoperasian dan pemeliharaannya. Menara, misalnya, di situ ada radio pemancar (BTS) Mentari, IM3, dan StarOne.

“Meski sulit, pemisahan itu mungkin dan bisa saja dilakukan. Karena memang tidak ada yang tidak mungkin. Namun, bagaimana cost dan konsekuensinya belum bisa dikuantifikasi, karena sampai saat ini kami belum mendapat kepastian tentang juklaknya dari pemerintah,” kata Direktur Marketing Indosat Guntur S Siboro.

Rupanya, Qtel tak tinggal diam dengan kondisi itu. Apa gunanya mengakuisisi 65% saham Indosat kalau isi perut Indosat ternyata harus dhedhel-duel. Namun, Qtel juga tak mau kalau hanya menguasai 49% saham Indosat.

Depkominfo keukeuh pada pendiriannya untuk mematuhi aturan tentang DNI. Namun, Qtel terus berusaha untuk mengegolkan keinginannya menguasai 65% saham Indosat tanpa harus memisahkan bisnis StarOne dan SLJJ. Manajemen Indosat pun tampak tak rela, bila perusahaan yang sudah berusia 41 tahun itu harus dipisah-pisah.

Ketika pertama kali mengumumkan masuk mengambil 40,8% saham Indosat dari Singapore Technologies Telemedia (STT) pada medio Juli 2008, Ketua Qtel Grup Sheikh Abdullah Bin Mohammed Bin Saud Al Thani langsung mengumumkan jalinan hubungan strategis dengan Rachmat Gobel. Kala itu, Rachmat Gobel adalah presiden komisaris Panasonic Gobel, sekaligus sebagai wakil ketua Kadin Indonesia, yang juga dekat dengan kepala BKPM M Luthfi.

Tiba-tiba, pada 24 Desember 2008, ketua Qtel yang telah menjadi presiden komisaris Indosat itu mengeluarkan siaran pers yang isinya, pemerintah Indonesia telah memperbolehkan Qtel memiliki hingga 65% saham Indosat tanpa harus memisahkan unit usaha jaringan tetapnya.

“Ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan investor kepada sistem dan iklim usaha di Indonesia. Kami tidak meragukan bahwa hal ini akan membantu menarik lebih banyak investasi ke Indonesia, yang pada akhirnya akan menumbuhkan dan membawa manfaat untuk ekonomi dan bangsa Indonesia.” Demikian Sheikh Abdullah memuji keputusan pemerintah Indonesia itu.

Ada pertanyaan besar tentang persetujuan pemerintah Indonesia itu. Namun, jawaban datang dari Menkominfo, pas ketika jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2008 di Jakarta, pada 31 Desember 2008. Bahwa keputusan itu diambil dalam rapat koordinasi dengan instansi lain, yang melibatkan Depkominfo, BKPM, dan Bapepam.

“Keputusan tanpa harus spin off itu merupakan hasil rapat antar departemen itu,” kata Nuh. Lalu, dia melanjutkan, "Kami sadar betul ada lembaga yang kewenangannya lebih tinggi dari Depkominfo soal investasi, ya... pada ujungnya terserah BKPM."

Nuh pasrah. Ia di-KO investor asing dalam kasus Qtel, setelah sebelumnya meng-KO investor asing dalam kasus menara. Skornya kini 1:1.