Di penghujung 2008, Menkominfo Muhammad Nuh terhuyung. Ia angkat tangan, lalu angkat bicara. Dua bulan lebih ia bertahan dengan pendiriannya untuk menegakkan aturan. Ini berkaitan dengan keinginan Qatar Telecom (Qtel) mengakuisisi 65% saham PT Indosat Tbk.
Bukan maksud Menteri untuk membendung keinginan Qtel menguasai mayoritas saham Indosat, mantan rektor Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) itu cuma ingin menegakkan aturan. Yakni, aturan yang dia abaikan ketika menerbitkan Peraturan Menkominfo No 2/2008 yang melarang asing masuk dalam bisnis menara. Itulah Perpres No 111/2007 tentang DNI.
Dalam kasus Qtel dan Indosat itu, Menkominfo keukeuh, investor asing, siapa pun dia, harus mengikuti aturan DNI. Yakni, untuk perusahaan telekomunikasi yang memiliki lisensi telepon tetap, investor asing hanya boleh menguasai maksimal 49% sahamnya, sedangkan untuk telepon selular boleh sampai 65%.
Indosat adalah perusahaan telekomunikasi yang memiliki lisensi paling lengkap. Mulai dari lisensi jaringan tetap, fixed wireless access (FWA), sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI), dan seluler hingga 3G dan 3,5G.
Oleh karena itu, sesuai Perpres No 111/2007 itu, Qtel tidak bisa mengakuisisi 65% saham Indosat. Kalau Qtel tetap ngotot dengan angka 65%, perusahaan telekomunikasi dari Qatar itu harus memisahkan lisensi jaringan tetap, yang terdiri atas StarOne (FWA), dan SLJJ.
“Peraturan yang mengharuskan pemisahan itu. Bunyinya 49% untuk jartap dan 65% untuk seluler,” ujar Menkominfo.
Persoalannya, seperti diungkapkan manajemen Indosat (Investor Daily, 12 November 2008), seluruh lisensi yang dimiliki Indosat itu sudah terintegrasi sedemikian rupa. Mulai dari jaringan cabang, karyawan, billing system, jaringan infrastruktur, hingga pengoperasian dan pemeliharaannya. Menara, misalnya, di situ ada radio pemancar (BTS) Mentari, IM3, dan StarOne.
“Meski sulit, pemisahan itu mungkin dan bisa saja dilakukan. Karena memang tidak ada yang tidak mungkin. Namun, bagaimana cost dan konsekuensinya belum bisa dikuantifikasi, karena sampai saat ini kami belum mendapat kepastian tentang juklaknya dari pemerintah,” kata Direktur Marketing Indosat Guntur S Siboro.
Rupanya, Qtel tak tinggal diam dengan kondisi itu. Apa gunanya mengakuisisi 65% saham Indosat kalau isi perut Indosat ternyata harus dhedhel-duel. Namun, Qtel juga tak mau kalau hanya menguasai 49% saham Indosat.
Depkominfo keukeuh pada pendiriannya untuk mematuhi aturan tentang DNI. Namun, Qtel terus berusaha untuk mengegolkan keinginannya menguasai 65% saham Indosat tanpa harus memisahkan bisnis StarOne dan SLJJ. Manajemen Indosat pun tampak tak rela, bila perusahaan yang sudah berusia 41 tahun itu harus dipisah-pisah.
Ketika pertama kali mengumumkan masuk mengambil 40,8% saham Indosat dari Singapore Technologies Telemedia (STT) pada medio Juli 2008, Ketua Qtel Grup Sheikh Abdullah Bin Mohammed Bin Saud Al Thani langsung mengumumkan jalinan hubungan strategis dengan Rachmat Gobel. Kala itu, Rachmat Gobel adalah presiden komisaris Panasonic Gobel, sekaligus sebagai wakil ketua Kadin Indonesia, yang juga dekat dengan kepala BKPM M Luthfi.
Tiba-tiba, pada 24 Desember 2008, ketua Qtel yang telah menjadi presiden komisaris Indosat itu mengeluarkan siaran pers yang isinya, pemerintah Indonesia telah memperbolehkan Qtel memiliki hingga 65% saham Indosat tanpa harus memisahkan unit usaha jaringan tetapnya.
“Ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan investor kepada sistem dan iklim usaha di Indonesia. Kami tidak meragukan bahwa hal ini akan membantu menarik lebih banyak investasi ke Indonesia, yang pada akhirnya akan menumbuhkan dan membawa manfaat untuk ekonomi dan bangsa Indonesia.” Demikian Sheikh Abdullah memuji keputusan pemerintah Indonesia itu.
Ada pertanyaan besar tentang persetujuan pemerintah Indonesia itu. Namun, jawaban datang dari Menkominfo, pas ketika jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2008 di Jakarta, pada 31 Desember 2008. Bahwa keputusan itu diambil dalam rapat koordinasi dengan instansi lain, yang melibatkan Depkominfo, BKPM, dan Bapepam.
“Keputusan tanpa harus spin off itu merupakan hasil rapat antar departemen itu,” kata Nuh. Lalu, dia melanjutkan, "Kami sadar betul ada lembaga yang kewenangannya lebih tinggi dari Depkominfo soal investasi, ya... pada ujungnya terserah BKPM."
Nuh pasrah. Ia di-KO investor asing dalam kasus Qtel, setelah sebelumnya meng-KO investor asing dalam kasus menara. Skornya kini 1:1.
1 comment:
saya masih ga ngerti alasan bkpm menerima akuisisi saham tersebut. yang menyimpang dari aturan perpres 111/2007.kalau ada info alasan dari bkpm tolong di emailkan ke iaskool@yahoo.com untuk analisa saya terhadap serunya masalah akuisisi saham ini.
terima kasih
Post a Comment