Don Luchessi dalam film The Godfather III
Apa yang tidak bisa dilakukan pengusaha? Ketika berjaya, juga saat tak berdaya.
Krisis finansial global yang menghantam Amerika Serikat (AS) sejak beberapa bulan ini kembali mempertontonkan aksi para pengusaha dan penguasa.
Tiga bulan lalu, lakon utama sandiwara dana bailout US$ 700 miliar bermain ciamik. Ketika rakyat AS menolak dana talangan itu, pasar finansial justru yakin dan berharap wakil rakyat akan menyetujui proposal bailout yang diajukan Presiden AS George Walker Bush itu. Tapi, ternyata Konggres AS tak setuju. Bursa saham New York Stock Exchange (NYSE) rontok. Pasar saham Eropa dan Asia pun demikian. Pasar tegang atau pura-pura tegang.
Di Bursa Efek Indonesia (BEI), makin tegang. Libur Lebaran Idul Fitri bukan makin fresh, malah stres. Malam Takbiran makin khusyuk bermunajad agar saham di BEI tak mengikuti jejak NYSE dan bursa lain di seluruh dunia. Seminggu berlibur, seperti terkubur dalam kegalauan. Pas dibuka, saham di BEI ternyata rontok juga, malah lebih dalam. Saham-saham grup Bakrie hancur sehingga otoritas menghentikan perdagangan.
Itulah drama alias sandiwara. Drama itu berlanjut hingga kini. Tiap hari, pelaku pasar makin tegang. Dan, sepertinya ketegangan itu sengaja diciptakan sang sutradara. Namanya juga drama. Yang pasti, ending-nya jelas, yakni happy. Dan, pada akhirnya dana bailout US$ 700 miliar itu disetujui. Tapi ending itu ternyata tak membuat pelaku bursa happy. Hingga kini.
Saham-saham grup Bakrie yang selalu menjadi pioner dalam pergerakan saham di BEI benar-benar mempertontonkan kebolehannya. Saham Bumi Resource (BUMI) yang sempat di Rp 8.000, tinggal Rp 800. Bakrie Development (ELTY) yang sempat di Rp 700 tinggal Rp 70, Bakrie Brother (BNBR) yang sempat di Rp 740 jadi Rp 50, Energi Mega Persada (ENRG) dari tertinggi Rp 1.500 tinggal Rp 90, Bakrie Sumatra Plantation (UNSP) tertinggi pernah Rp 2.800, sekarang Rp 250.
Itu semua terjadi pada tahun ini. Saham-saham grup Bakrie tinggal 10%. Teringat ketika Orde Baru ada istilah Mrs Ten Percent. Sekarang, boleh jadi Mr Ten Percent. Kalau era dulu, setiap proyek ada komisi 10%, sekarang kekayaan para pelaku pasar cuma dihargai 10%.
Sudahlah! Kata orang Jawa, untung masih ada 10% itu. Belum habis benar. Tapi, kejadian di AS dua pekan terakhir ini, membuat para pelaku pasar was-was. Tiga raksasa otomotif di AS tengah menggelar drama serupa. Ceritanya, General Motors (GM), Chrysler, dan Ford --yang kemudian dijadikan judul drama, The Big Three—bangkrut dan minta diselamatkan. Mereka minta dana talangan US$ 34 miliar. Presiden AS yang baru saja dilempar sepatu oleh wartawan Irak itu setuju. Tapi yang disetujui cuma US$ 15 miliar. Biar persetujuan itu tak terlihat 100% atau biar tak dilempar sepatu oleh warganya sendiri?
Namun, drama di Konggres kembali terulang. Persetujuan wakil rakyat tak diperoleh. Lalu, The Big Three pasrah, balik badan sambil mengumpat dan mengancam. “Ya, sudah. Berarti, sedikitnya tiga juta orang jadi pengangguran.”
Lembaga penelitian, Center for Automotive Research (CAR) –singkatannya dibuat sama dengan bisnis The Big Three-- segera melakukan survei. Hasilnya, selain tiga juta pengangguran baru, ada 800 ribu pemasok kehilangan mata pencarian. Kalau satu pemasok menghidupi 100 orang, berarti ada 80 juta orang terancam mata pencahariannya. Ada ratusan ribu pesiunan mengajukan klaim ke Federal Pension Benefit Guaranty Corp dan asuransi kesehatan hingga 2017 yang kalau dihitung, nilainya mencapai US$ 90 miliar.
Itu belum cukup. Pendapatan perorangan bakal hilang sebsar US$ 125,1 miliar pada tahun pertama penutupan The Big Three itu dan menjadi US$ 275,7 miliar dalam tiga tahun ke depannya. Negara juga bakal kehilangan pendapatan pajak sebesar US$ 49,9miliar pada tahun pertama dan US$ 108,1 miliar pada tiga tahun mendatang. Ujungnya, perekonomian AS akan tergerus karena sektor otomotif selama ini menyumbang pada PDB sebesar 2% atau setara dengan US$ 300 miliar.
“Ngeri deh!” Mungkin, itulah kalimat yang keluar dari anggota Konggres dari Parta Demokrat sehingga mereka menjilat kembali ludahnya. Awalnya mereka sudah kadung menyatakan tidak setuju dengan dana talangan US$ 15 miliar itu. Anggota Konggres dari Partai Republik masih bertahan, tapi apa bisa tahan?
Boleh jadi, orang-orang di Amerika mencontoh tingkah polah pengusaha di Tanah Air ketika negeri ini dihantam krisis pada 1997/1998. Dalam hal ini, Indonesia, boleh juga!
Dalam posisi terjepit, pengusaha nasional kala itu menjadi peminta-minta. Ya, begitu itu. Pasrah, tapi menganca. Ketika pemerintah setuju mengucurkan dana talangan (BLBI), para pengusaha nasional itu masih menunjukkan wajah cemberut dan pura-pura miskin. Di balik layar, mereka justru berpesta pora dengan dana talangan itu. Dana talangan disikat, aset bank yang ditalangi pun diembat.
Ketika bank dikuasai pemerintah, asetnya kosong melompong. Ketika dimintai pertanggungjawaban, pemilik dan eksekutifnya sudah kabur. Ada juga yang bertahan karena memang tak ikut-ikutan berpesta. Tapi ada juga yang pura-pura tak bersalah, tak ikut berpesta, lalu dicokok aparat. Mereka digiring ke Hotel Prodeo sambil menunggu proses. Mereka tetap menunjukkan wajah tak bersalah. Lalu, pura-pura sakit. Sakit pusing akibat memikirkan nasib dirinya, tapi dokter mendiagnosa jantung, ginjal, hati, dan komplikasi ke cantengan (infeksi jempol kaki).
Jurus kedua dimainkan. Minta izin berobat. Dokter dalam negeri tak dilirik, minta ke luar negeri. Aparat pun, yang sudah bergizi, mengizinkan. Jurus berikutnya adalah sakit seumur hidup alias menghilang dan tak pernah kembali.
Mencuri, menipu, membunuh, bahkan membunuh saudara kandung tak apalah. Dari, demi dan oleh uang. Kira-kira itulah yang disampaikan film The Godfather itu. Dan, ucapan Don Luchessi dalam The Godfather III makin menegaskannya.
Namun, ketika uang tak ada lagi, The Big Three punya cara jitu untuk tetap bertahan. Tapi The Big Three mungkin sudah menyiapkan jurus berikutnya, bila dana talangan mengucur. Lagi-lagi mau mencontoh Indonesia, ya?
15 Desember 2008
No comments:
Post a Comment