SRI MULYANI tak punya pilihan. Ia dan keluarganya harus tinggal di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta Barat. Rumah petak kontrakan, berdinding dan beratap seng, lembab. Lingkungan tak mendukung, gizi minim, Cahyani (1,5 tahun), anaknya, kena TBC. Delapan bulan terapi, tak sembuh, bobot badan konstan pada angka delapan kilogram.
Cahyani adalah satu dari ribuan balita di ibukota yang kualitas gizi dan kesehatannya buruk. Hingga Agustus 2006, ada 9,253 balita seperti Cahyani, menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana DKI Jakarta. Inilah yang membulatkan Rini Sutiyoso memeranginya. “Kalau bisa malah enggak ada sama sekali,” kata Rini. (Kompas, Rabu, 5/10)
Tidak ada gembar-gembor berapa besar dana yang bakal diguyurkan untuk memperbaiki gizi dan kualitas kesehatan anak-anak Jakarta. Memangnya siapa Rini? Lain dengan suaminya, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, yang akrab disapa Bang Yos. Untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Gubernur DKI Jakarta itu kini tengah menantang arus, membelah jalan, memacetkan lalu lintas ibukota, membangun jalur busway.
Investor Daily (Sabtu, 7/10) memberitakan, Pemrov DKI Jakarta menganggarkan dana Rp 35 triliun untuk membenahi transportasi ibukota. Itu demi membebaskan Jakarta dari kemacetan pada 2010. Lengkap dengan daftar proyek dan nama-namanya, serta rencana dan target penyelesaiannya.
Itulah pembangunan!
Untuk pembangunan pula, ada puluhan, bahkan ribuan triliun rupiah dana yang dianggarkan republik ini. Swasta lebih banyak, dan so pasti dengan dukungan penuh pemerintah. Dukungan kebijakan, politik, dana, bahkan di bawah tangan. Soal dana, tahun ini saja, pemerintah menganggarkan APBN senilai lebih dari Rp 500 triliun. Baik penerimaan maupun belanja.
Anggaran cuma 500, tapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan anggaran bermasalah dan diragukan sebanyak 1.719. (Tentu saja, dalam bilangan triliun rupiah). Rincian anggaran yang diragukan itu, termaktub di dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005, antara lain investasi di Bank Indonesia sebesar Rp 130 triliun, penerimaan pajak hampir Rp 350 triliun, penyertaan modal pemerintah pada BUMN mendekati Rp 400 triliun, serta pengendalian dan pencatatan utang luar negeri sebesar Rp 600 tiliun.
Anggaran yang diragukan itu adalah yang di atas Rp 100 triliun. Ada banyak item anggaran yang diragukan yang jumlahnya di bawah Rp 100 triliun. Sebut saja dana bergulir, piutang pajak, piutang BLBI, rekening dana investasi, aset eks-BPPN, aset eks BP Migas. Bahkan, ada uang negara yang didepositokan di bank. BPK menyebut, ada 1.303 rekening dan deposito atas nama pejabat negara senilai Rp 8,54 triliun. Departemen Keuangan ternyata baru mengetahui ada 632 rekening deposito senilai Rp 1,32 triliun.
Itu yang ketahuan. Yang tidak ketahuan, siapa tahu?
Itukah pembangunan? Uang negara dikelola tanpa ada pertanggungjawaban secara akuntansi. Pajak ditarik dari rakyat, lalu dibelanjakan, didepositokan, atau bahkan ditilep. Ketahuan, ada pemberitahuan dari pemeriksanya tetap tenang-tenang saja. Yang penting ada catatannya, meski tak sesuai standar pencatatan (akuntansi).
Di republik ini, anggaran bermasalah atau diragukan sepertinya tak berarti apa-apa. Saban tahun berulang dan berulang. Kecuali ada masalah dengan orangnya, anggaran yang tak bermasalah sekalipun bisa dibuat bermasalah. Orangnya digelandang ke kejaksaan, ke kepolisian, disorot tv, disiarkan radio dan media cetak, lalu dilengserkan. Terbukti atau tidak, itu tak penting. Yang penting orang penting itu sudah lengser dan 'babak belur'.
Di republik ini, ada ribuan, atau bahkan jutaan orang yang kurang gizi, yang kualitas kesehatannya buruk. Yang tak bisa sekolah, yang jatuh miskin, yang terusir dan tergusur atas nama pembangunan, yang menatap langit hampa. Seperti Sri Mulyani, ibu Cahyani, di bantaran kali Banjir Kanal Barat, Jakarta. Bukan Sri Mulyani Indrawati di Lapangan Banteng, Jakarta.
Pembangunan itu adalah proyek, gedung, dan uang triliunan. Kenapa bukan manusia yang sehat dan berakal? n rizagana
Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 10 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN
Tuesday, October 10, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment