Tuesday, October 17, 2006

Perdamaian

APA hubungan bank, orang miskin, dan perdamaian?

Sebentar! Bank dan perdamaian ada kaitannya, terutama dalam penyelesaian tunggakan kredit atau tagihan. Lalu, hubungan bank dengan orang miskin? Jarang orang miskin berhubungan dengan bank. Sebaliknya, bank pasti tak mau berurusan dengan orang miskin.

Sedangkan orang miskin dan perdamaian? Pusing, ah! Apakah orang miskin yang membuat keadaan jadi tidak damai. Atau sebaliknya, orang miskin yang lebih sering berdamai. Lha, kalau orang kaya atau yang tidak miskin lagi? Apa mereka lebih identik dengan kedamaian dan perdamaian?

Komite Nobel Norwegia (NNC) menjawabnya amat ringkas. “Perdamaian abadi tidak akan dapat dicapai, jika masih ada kelompok masyarakat dalam jumlah besar terjerat kemiskinan.” Nah, dengan pertimbangan itu pula, Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada ekonom, sekaligus bankir, Muhammad Yunus, dan Grameen Bank. Ia dinilai mampu mengentaskan jutaan orang miskin dengan cara mengucurkan kredit kepada perempuan-perempuan di Bangladesh lewat skema kredit usaha mikro. Sejak 1976.

Lho, Bank Dunia? Bank yang didirikan 43 negara kaya untuk membantu negara miskin keluar dari jerat kemiskinan. Sejak 1944 atau lebih tua dari Grameen Bank, milik Muhammad Yunus. Dana yang dikucurkan Bank Dunia pun sudah puluhan miliaran dolar AS, jauh lebih banyak dari yang dikucurkan Grameen. Cakupannya bukan hanya perorangan, apalagi perempuan, tapi negara. Programnya jelas dan dipantau ketat. Kok Grameen?

NNC pasti punya jawaban untuk itu. Dan, NNC pasti tidak sedang meledek Bank Dunia, yang realitanya justru membuat negara yang dibantu makin terpuruk dalam kemiskinan dan terjerat utang yang mencekik leher. Negara-negara kaya itu, justru makin kaya –untuk tidak menyebutnya rentenir-- bahkan membuat negara lain tak damai.

Di dalam negeri? Tidak! Komite Nobel itu pasti tidak sedang menyindir Indonesia yang punya segudang program pengentasan kemiskinan. Sejak awal Indonesia merdeka, bahkan. Pemerintah selalu menyediakan anggaran untuk mengentaskan orang miskin. Tahun lalu, jumlahnya Rp 22 triliun. Tahun ini Rp 42 triliun. Tahun depan Rp 51 triliun, yang disebar di 19 departemen.

Indonesia punya Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang sudah berusia seabad lebih. Tanyalah direksinya, pasti ia hafal betul berapa kredit yang sudah disalurkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Juga puluhan triliunan rupiah. Detail, dan tiap tahun selalu meningkat. Labanya saja, tiap tahun bisa triliunan rupiah.

Bank sentralnya, Bank Indonesia (BI), bahkan mewajibkan bank mengucurkan kredit kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ada lagi yang namanya kredit tanpa agunan (KTA). Tiap tahun ada pagunya, sampai puluhan triliun rupiah. Dan, tujuannya jelas, untuk mendukung program pengentasan kemiskinan. Tapi, coba datanglah ke bank dan tanyakan KTA. Pasti jawabannya ada, tersedia, dan siap dikucurkan kapan saja. Syaratnya slip gaji –itu berarti calon penerima KTA adalah pekerja. Bunganya, alamaak, di atas 25% setahun. Padahal bunga tabungan saat ini cuma 4%.

Orang kaya? Lupakan! Jangan coba-coba bertanya kepada orang kaya Indonesia, pemilik bank atau pemilik puluhan perusahaan. Pasti ia lebih suka menaruh uangnya di luar negeri. Menurut surat kabar ini, ada 18 ribu orang kaya Indonesia yang menyimpan uangnya di Singapura dalam jumlah Rp 800 triliun. Nilai yang hampir setara dengan dua kali APBN Indonesia.

Stop! Pertanyaan itu pula tak perlu diteruskan, misalnya berapa banyak orang miskin Indonesia yang berhasil dientaskan. Tanya kenapa? Pertama, agar orang yang ditanya tak tersinggung. Kedua, UMKM itu pasti bukan orang miskin papa. Ketiga, ya itu tadi, bank pasti berusaha sekuat tenaga untuk tidak berurusan dengan orang miskin. Bank adalah lembaga bisnis, bukan lembaga sosial. Titik!

Karena itu, pertanyaannya lebih baik ditujukan kepada Komite Nobel Norwegia. Kenapa Nobel Perdamaian 2006 diberikan kepada bankir yang bernama Muhammad Yunus? Bikin malu saja! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 17 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

No comments: