Monday, October 02, 2006

Tidur

TIDUR! Puasa di bulan Ramadhan ini memang nikmat, ibadah lagi. Apalagi tidur di siang hari menghalau lapar dan dahaga, menghindari terik mentari yang menyengat. Tidur di rumah, di kantor, di masjid atau mushala, di mana saja. Bangun-bangun menjelang bedug Maghrib, dan es buah plus kolak sudah tersedia. Ah, nikmatnya!

Tak hanya saat puasa, tanpa es dan kolak sekali pun, tidur bisa nikmat. Lewat waktu, lupa masalah, tak ingat tangung jawab. Tapi kebanyakan tidur, kata orang pintar, justru menjadi sumber penyakit. Badan lemas, loyo, tak bergairah, dan gampang terserang penyakit. Penyakit malas, salah satunya. Malas mikir, bahkan malas keluar dari jerat kantuk akibat kebanyakan tidur.

Soal tidur ini, ada dua cerita. Pertama, cerita Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU) Kusfiardi. Pekan lalu, Perwakilan Jubilee USA Network Debayani Kar datang ke Jakarta. Utusan LSM dari AS itu berkoar-koar agar Pemerintah Indonesia segera mengajukan pemotongan utang kepada kreditor luar negeri, baik bilateral maupun multilateral. Jubilee telah mendaftar 78 negara miskin di dunia, sebagian besar dari Afrika, yang memiliki utang kepada AS, untuk dihapuskan. Kala Indonesia disebut, anggota Konggres AS justru bertanya, “apa Indonesia pernah minta penghapusan utang?”

Di Eropa, ada Eurodad alias European Network on Debt and Development, yang sejak lama lantang meneriakkan penghapusan utang bagi Indonesia. Dia bilang, Paris Club, lembaga kreditor multilateral sebangsa Bank Dunia, IMF, ADB harus melupakan 79% utang Indonesia. Kalau tidak, Pemerintah Indonesia yang melupakan kebutuhan dasar rakyatnya, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial hari tua.

Aneh bin ajaib. Indonesia yang berutang, pihak lain yang resah dan gelisah, berkoar-koar minta penghapusan utang Indonesia yang bejibun –sekitar Rp 2.000 triliun, yang tediri atas utang luar negeri pemerintah US$ 85 miliar, utang luar negeri swasta sekitar US$ 65 miliar, dan utang dalam negeri pemerintah Rp 650 triliun. “Tanya-ken-apa dan kemana pemerintah? Tidur?”

Cerita kedua dari Faisal Basri, yang disampaikan dalam seminar di Sekolah Tinggi Manajemen PPM, Jakarta, Senin (2/10). Seorang pejabat Singapura terheran-heran dengan Indonesia karena sektor riil tidak bergerak akibat kredit tidak mengucur. “Apa Indonesia tak punya dana?” tanya teman dari jiran. Dana ada, tabungan berlimpah, suku bunga sudah turun, tetapi kok kredit tetap saja seret.

Faisal enteng berkata, “Bank-bank di Indonesia tidak terbiasa menyalurkan kredit secara benar.” Itu saja! Selama ini bank-bank menyalurkan kredit kepada pengusaha pemilik bank, kolega pemilik dan bankir, atau atas dasar kongkalikong dengan pejabat. Selebihnya, tidur. Sekarang pun masih nyenyak?

Tidur! Sekali-kali jalan-jalanlah ke mal, telusuri gang-gang sempit di supermarket. Produk-produk luar negeri berbahasa Indonesia berderet dipajang. Kalau diteliti, di kemasan produk kacang goreng itu tertulis made in China. Ada juga minuman jus kalengan, yang bahan bakunya dari Medan, pabriknya di luar negeri. Produk-produk itu sedang dalam proses registrasi di Badan POM, tapi produknya sudah beredar di pasar modern. Selain dari Cina, ada banyak produk dari Singapura, Malaysia, Italia, dan Australia yang sudah dan siap membanjiri pasar Indonesia. “Pemerintah Indonesia? Tidur?”

Tidur pula yang menyebabkan banyak produk luar negeri leluasa menguasai pasar dalam negeri. Tanyalah jeruk Brastagi yang katanya manis-manis kecut. Di Brastagi, Medan, harga jeruk cuma Rp 300 per kilogram, tapi di Jakarta harganya mencapai Rp 10 ribu. Kata orang Jakarta, mending beli jeruk Mandarin, cuma Rp 6.000. Anehnya, harga jeruk Mandirin di Beijing dan di Jakarta, tidak beda.

Sebelumnya, bekas calon wakil presiden Siswono Yudhohusodo pernah cerita tentang keluhan sapi Sumbawa yang biaya angkut ke Jakarta lebih mahal 165% dibanding sapi Darwin, Australia. Juga, biaya angkut satu kontainer dari Batam ke Jakarta Rp 10 juta, tapi ongkos San Fransisco-Jakarta cuma Rp 6 juta. Ini soal sarana dan prasarana alias infrastruktur, yang membuat orang atau siapa saja yang lalu-lalang di atasnya, pulas tertidur.

Itu belum apa-apa. Yang bahaya justru adalah kalau dipuasakan, lalu ditidurkan atau malah dengan akhiran ‘i’. Itulah yang terjadi, persis setahun lalu. Menurut istilah Faisal Basri, pemerintah bertindak seperti drakula yang menyedot darah segar rakyat berupa subsidi BBM, kemudian ditawarkan kepada asing dalam bentuk suku bunga tinggi. Asing berbondong-bondong datang mengisap SBI, SUN dan saham. Rakyat dibiarkan lemas, kurang darah. Antara tidur dan mati! n rizagana

Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 3 Oktober 2006 halaman 24
Rubrik RASAN

No comments: