Monday, May 22, 2006

2050

GOOD morning, sir!” Seorang OB alias office boy menyapa. Staf kantor yang bukan bosnya itu berlalu, cuek, dan sempat-sempatnya bilang, “kopi, please!”

Di kantor, di rumah, di perjalanan, di warung, apalagi dalam perbincangan bisnis, di Tanah Air ini, semua dalam bahasa asing, meski campur-campur. Merek produk, mulai dari pakaian dalam hingga elektronika, asing. Reklame, nama gedung dan kantor, tak terkecuali. Perusahaan asing dan lokal tak lagi bisa dibedakan. Sama. Sembilan puluh sembilan persen –untuk tidak mengatakan seluruhnya-- dalam bahasa asing.


Ini 2050. Indonesia tak lagi mengenal demo buruh yang menuntut kesejahteraan. Juga tak ada lagi unjuk rasa menentang rancangan undang-undang. Mahasiswa tertib, rapi dan tak lagi turun ke jalan.

Telepon berdering. Seorang minta segera ketemu. “Ok! I’ll be right there in 30 minutes!” Berkemas. Mobil sport itu menderu dan tancap gas.

Di perbatasan Jakarta, petugas imigrasi selalu berjaga-jaga. “Your pasport, sir!

Kasak-kusuk membuka tas, dan laci. “Waduh, lupa, sir!” Dalam benaknya, bakal batal janjinya bertemu seseorang di negeri jiran, yang jaraknya cuma 30 km dari Jakarta, Indonesia.

Sejurus kemudian, orang berseragam datang. “Pak, teleponnya, tuh, berisik!” seru OB yang tadi membuatkannya kopi.

Dering telepon berlalu mengiringi kepergian lamunannya yang membuai. Tentang Indonesia yang tinggal Jakarta. Tentang 2050. n rizagana