“SELAMAT, Papa! Sekali lagi, Selamat! Papa masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia.
Lembaga yang membuat peringkat itu menyebut harta kekayaan Papa sampai triliunan rupiah. Hebat juga lembaga itu. Saya, yang anak Papa saja tak tahu persis berapa kekayaan Papa. Memang perusahaan Papa banyak dan tersebar di seluruh Tanah Air, bahkan di luar negeri.
Papa! Saya kagum pada Papa. Saya kagum dengan tangan bisnis Papa yang cemerlang, yang penuh dengan ide-ide brilian. Saya kagum dengan kesungguhan, kegigihan, dan kerja keras Papa. Saya lebih kagum lagi, karena ide dan kerja keras Papa itu benar-benar bisa direalisasikan. Ada bank yang percaya, ada orang yang mau bekerja sesuai dengan keinginan Papa, dan produk itu laku bak kacang goreng. Sungguh, saya benar-benar kagum!
Saya kagum dengan cara-cara Papa saat berhadapan dengan para pejabat negeri ini. Birokrat atau aparat, pejabat tinggi atau rendahan. Papa, bahkan bisa dekat dengan partai politik mana pun, dan calon-calon presiden, menteri, bahkan pejabat eselon I hingga IV. Birokrat atau aparat. Tak peduli, dia idola atau bukan; dia calon Papa atau bukan. Beda sekali saat menghadapi bawahan. Bahkan, Papa tak sungkan-sungkan membawakan segelas air putih untuk pejabat yang sedang makan pada acara standing party. Papa bisa menenggelamkan ego, demi sebuah ambisi (bisnis) yang Papa geluti.
Papa benar-benar pengusaha tulen yang sukses. Papa merintisnya dari modal kecil, dari usaha asongan nun jauh dari Jakarta. Pelan tapi pasti, Papa akhirnya bisa seperti sekarang. Lima puluh tahun bukan waktu yang sedikit. Dan, Papa bukan pengusaha yang sedikit-sedikit merengek minta insentif, sebentar-sebentar mengeluhkan kebijakan pemerintah. Papa, selama yang saya tahu, tak pernah mempersoalkan aturan baru yang dikeluarkan pemerintah. Tapi, heran saya, Papa selalu lebih dulu tahu tentang aturan yang akan keluar. Lalu, Papa tahu di mana kelemahan aturan itu.
Dalam bisnis, Papa seng ada lawan. Tak ada angin, tak ada hujan, Papa menginstrusikan anak buah membeli tanah di suatu daerah. Heran! Caranya terserah! Negosiasi baik-baik, menyogok kepala desa, atau mengerahkan preman. Papa memang tidak seperti Presiden AS yang membombardir sebuah negeri dengan ratusan, bahkan ribuah bom, rudal, roket, dan mesiu, serta membunuh ribuan orang dan membuat jutaan orang jadi miskin papa dengan alasan yang tak pernah terbukti, kecuali di negeri itu ada tanah, minyak dan harta kekayaan orang.
Papa pasti tidak seperti itu, meski ada juga yang kemudian melarat atau mati. Papa lebih mirip Raja Midas, karena apa yang ada di tangan Papa pasti berubah dan berbuah jadi emas. Tanah belukar, rawa-rawa, terpencil di pelosok, tak bersurat lengkap, Papa sulap menjadi real estate mewah. Tanah yang dibeli seharga Rp 1.000 per meter persegi, laku terjual dengan harga seribu kali lipat, bahkan lebih. Itu tanah ratusan, malah ribuan hektare.
Papa tahu benar daerah mana yang bakal maju, wilayah mana yang akan dilalui jalan tol, lokasi mana yang kelak jadi kota baru atau pusat bisnis. Inilah kebodohan orang-orang kampung nan miskin itu, sekaligus menjadi kehebatan Papa. Ah, Papa pasti paham betul apa yang disebut Hernando de Soto dengan The Mystery of Capital-nya.
Papa, banyak orang terpelajar dan cerdas, serta kaya di negeri ini. Tapi tak banyak yang bisa seperti Papa. Termasuk saya, Papa!
Jangan marah, Papa! Saya harus jujur pada Papa, dan diri sendiri bahwa saya tak bisa dan takkan mungkin bisa menjadi pengusaha, seperti Papa. Saya pasti tak sehebat Papa. Dalam menjalankan bisnis, membuat konsep dan ide yang brilian, menghadapi pejabat dan aparat, karyawan, wartawan, dan warga yang terusir menjadi miskin dan melarat. Jujur, Papa, saya katakan!
Sekali lagi, jangan marah, Papa! Maaf, kalau saya terpaksa harus jujur pada Papa. Toh masih banyak profesional, orang kepercayaan Papa. Maaf, sekali lagi maaf! Bukan saya tidak mau menjadi orang kaya, masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Bukan pula saya tak suka kemasyhuran. Saya cuma ingin jujur pada diri sendiri. Seperti yang Papa ajarkan. ‘Lihatlah ke dalam. Kalau kau melihat ke luar, kau tak tahu kemana kau melangkah. Melihat ke luar adalah bermimpi. Melihat ke dalam membuat kau terjaga.’
Demikian saja, Papa, surat ananda. Maafkan saya!”
Surat seorang anak kepada pengusaha Indonesia itu tak bertanda tangan, tak bernama. n rizagana
Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 12 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment