BAMBANG membanting koran. Yusuf, tetangga gang sebelah, yang kebetulan lewat, terkesiap. “Ada apa Pak? Koran kok dibanting!” Yusuf, lalu mampir, bertamu.
Bambang tak menjawab, kecuali mempersilakan tamunya masuk dan duduk lesehan di beranda. Ia memungut kembali koran hari itu, Sabtu, 2 September 2006. Di situ terpampang berita; pemerintah akhirnya memutuskan impor beras sebanyak 210.000 ton pada tahun ini. Pada halaman lain, terpampang foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara, Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dan Gubernur Kalimantan Tengah yang mantan anggota DPR Teras Narang panen raya di lahan gambut Kapuas, Kalteng.
Masih koran yang sama, ada berita yang menyebutkan, pemerintah menganggarkan dana untuk penanggulangan kemiskinan pada 2005 sebesar Rp 22 triliun. Tahun ini naik menjadi Rp 42 triliun, dan tahun depan menjadi Rp 51 triliun. Anggaran penanggulangan kemiskinan naik terus, tapi jumlah orang miskin juga naik. Tahun ini naik 10% dibanding tahun lalu menjadi 39,05 juta atau 17,75% dari total penduduk 222 juta jiwa. “Lantas kemana larinya dana-dana itu?”
Bambang menyilangkan jari-jemari tangan dan menangkupkannya di ubun-ubun. Tiba-tiba Yudho, anaknya, datang sembari bersiul. “Apakabar, Om? Aku dengar, seru sekali bicara tentang kemiskinan dan orang miskin, Om?” Yudho menyalami tamu dan bapaknya, dan menggamit sebuah buku.
“Buku apa itu Do?” tanya Ucup.
“Ini! Ini buku bagus, dan cocok tentang tema diskusi di sini!” Yudho lalu menjelaskan buku yang baru ia pinjam dari temannya. Ia belum baca, tapi temannya sudah bercerita tentang isinya secara garis besar. Buku yang bercerita tentang orang miskin yang sebenarnya kaya raya. “Tapi dasar orang miskin, ia tak tahu bahwa ia kaya. Di sinilah misterinya.”
Ketika Ucup ingin mengambil buku itu, dengan sigap Yudho ngeles. Sambil menunjuk-nunjuk buku itu, Yudho mengatakan, ada miliaran orang miskin di dunia ini dan 80%-nya tinggal di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis. Mereka rata-rata hidup di rumah dan tanah secara ilegal. Kalau diuangkan, total nilai real estate orang-orang miskin di seluruh dunia yang dimiliki secara ilegal itu mencapai US$ 9,3 triliun.
Dua orang tua itu terperangah. "Sembilan koma tiga triliun dolar Amerika?"
Ya! Jumlah itu hampir sama dengan nilai total semua perusahaan yang tercantum pada 20 bursa saham utama di negara paling maju sedunia; New York, Tokyo, London, Frankfurt, Toronto, Paris, Milan, Nasdaq, dan selusin lainnya. Nilai ‘kekayaan’ orang miskin sedunia itu sama dengan 20 kali total investasi langsung asing (FDI) di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis dalam 10 tahun sejak 1989, 46 kali nilai semua pinjaman negara dari Bank Dunia selama tiga dekade terakhir, dan 93 kali bantuan untuk perkembangan dari semua negara maju kepada Dunia Ketiga dan bekas komunis dalam periode yang sama.
Di Haiti, di Peru, di Filipina, di Mesir, dan di Indonesia demikian juga. Tapi, kata Yudho, sekali lagi, tapi orang miskin tidak tahu. Mereka tidak tahu bahwa di rumah mereka itu ada tambang berlian. Mereka tidak tahu, seperti kata Einstein, tumpukan batu bata sesungguhnya bisa menghasilkan energi atom, seperti yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Mereka tidak tahu bagaimana aset yang mereka miliki itu bisa dikonversi menjadi modal yang bisa membuat mereka kaya raya.
“Orang-orang di negara Dunia Ketiga dan bekas komunis hanya tahu bagaimana melindungi aset berupa tanah dan rumah, dll. Ia tetap kapital mati. Di Barat, aset itu diolah secara formal dalam dokumentasi yang terus-menerus disesuaikan dengan perkembangan dan diatur oleh peraturan yang terdapat dalam sistem property.”
“Itulah kuncinya!”
“Buku apa itu, Do?” Ucup memiringkan kepalanya ketika Yudho menunjukkan buku The Mystery of the Capital, karya Hernando de Soto itu. Ucup melirik Bambang, lalu berucap, “Oo, Misteri Soto!”
“Kabarmu sendiri, gimana, Do? Sudah dapat kerja?” Ucup, lalu merebut buku itu.
“Belum, Om!” Kali ini, Yudho senyum kecut. Sudah dua tahun ia diwisuda sebagai sarjana ekonomi dari sebuah perguruan tinggi swasta terkenal.
“Ijazahmu itu, property bukan, Do?” kata Ucup, lalu menaruh buku itu setengah dibanting. n rizagana
Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 5 September 2006 halaman 24
Rubrik RASAN
Tuesday, September 05, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment