“Yudho!” Agak teriak, ibunda menegur puteranya yang menyetel musik terlalu kencang. Yudho asyik menggeleng-gelengkan kepala dan sesekali memukul-mukul meja, seolah menabuh drum, mengikuti irama lagu dari grup musik White Lion.
“Apa kamu tidak dengar, ayahmu dan Pak RT lagi berbincang-bincang di beranda?” sergah ibunda. Volume radio dikecilkan, lamat-lamat ia mendengar perbincangan ayahnya dan ketua RT. Tentang sumbangan warga kepada RT yang seperti tiada henti. Yang rutin, untuk sampah dan keamanan. Yang tidak rutin, untuk mengaspal jalan, Tujuh Belasan. Bulan depan, untuk halal bi halal, THR tukang sampah dan satpam, itu pasti.
“Habis gimana? Justru yang saya takutkan, kalau urusan yang diamanatkan warga tak kita tunaikan.” Ketua RT menerangkan, setiap rencana menarik sumbangan selalu diputuskan dalam rapat warga. Ia juga mengerti beban warga yang terus menggunung akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, biaya anak sekolah, iuran koperasi, biaya telepon, listrik, air PAM, cicilan rumah, pajak bumi dan bangunan (PBB), dll.
“Sebenarnya, beruntung juga kita masih punya rumah, masih punya RT, dan ada yang mengurus. Saya tak bisa membayangkan, warga yang sudah membayar iuran itu tidak diurus.”
Bambang, ayah Yudho, lalu mengalihkan pembicaraan ke nasib saudaranya di Sidoarjo. Hampir 10 ribu warga di enam desa terusir dari rumahnya sendiri, 15 pabrik tutup, 1.873 orang terhenti dari pekerjaan, dan tak terhitung berapa anak yang harus pindah atau bahkan tak sekolah lagi.
Sudah tiga bulan mereka merana disembur 50.000 kubik lumpur panas tiap hari. Sekarang sudah 4,5 juta kubik. Lumpur telah menggenangi lebih dari dua kilometer persegi areal, kalau ketinggian lumpur itu diasumsikan satu meter.
“Pak RT! Di situ kehidupan dan penghidupan mereka, lho! Siapa yang sekarang melindungi mereka? Mereka yang sekarang jadi korban, dan yang sekarang sedang terancam. Mereka kan bayar pajak, PBB minimal,” seru Bambang.
Dalam hal ini Bambang dan ketua RT itu sepakat. Mereka heran, pejabat teras pemerintah bolak-balik ke Sidoarjo, tapi lumpur mengucur terus bak air mancur. Yang diurus, bagaimana mengalirkan lumpur yang menggenangi rumah. Yang diusut, petugas Lapindo di lapangan. Tapi apa upaya menyetop semburan lumpur agar tak makin membahayakan?
“Ini sudah 90 hari, lho, Pak RT!” Pak Bambang merasa seolah-olah menjadi salah satu korban. Ia bisa merasakan susahnya ‘kehilangan’ rumah, pekerjaan dan tak mampu melindungi anak-istri. Ia juga membayangkan, betapa jutaan keluarga Indonesia berusaha mati-matian untuk memiliki sebuah RSSS alias rumah sangat sederhana sekali. Nyicil belasan tahun, demi anak istri. When the children cry...
Matanya melotot saat ketua RT menyebut tanggung jawab Lapindo. Gaya bicaranya, acting-nya saat berbicara, kadang seperti tokoh nasional yang ikut membuat seruan agar pemerintah segera turun tangan. Bahwa Lapindo harus bertanggung jawab, itu satu hal. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana melindungi warga yang jadi korban, dan warga yang akan jadi korban lumpur panas dan ganas itu. Warga yang bayar pajak. Sekarang warga Porong tergenang lumpur, dan lumpur itu sedang mengancam warga Sidoarjo lain.
Pemerintah sedang kesulitan dana, siapa yang tak tahu. Tapi kesulitan pemerintah masih mending dibanding kesulitan dan derita korban, serta rasa was-was warga sekitar tentang kemungkinan amblesnya bumi Sidoarjo. Rusaknya infrastruktur di daerah itu, jembatan, jalan, jaringan listrik, telekomunikasi, rumah, dan bangunan. Bagaimana kalau musin hujan tiba? Kehidupan dan penghidupan warga juga terancam. Sekarang saja, ada yang memperkirakan nilai kerugian akibat semburan lumpur itu sudah mencapai Rp 33 triliun.
Kenapa pemerintah tidak mengambil alih tanggung jawab, terutama untuk menghentikan semburan lumpur. Demi rakyat! Lapindo diurus nanti. Ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan untuk penghentian semburan lumpur bisa dituntut kelak kepada Lapindo. Warga yang jadi korban harus diurus dan diperjuangkan pula. Bila ada unsur pidana, bisa diusut kemudian oleh pihak berwajib.
“Hey, Pak RT! Pemerintah kerja keras mengejar pertumbuhan ekonomi, mengendalikan inflasi, menggenjot ekspor, dan segala macam itu, untuk apa sih? Kita kan sering dengar di pidato-pidato pejabat. Itu kan untuk kesejahteraan kita-kita ini, rakyat Indonesia, termasuk yang di Sidoarjo? Moto Presiden dan Wapres kan, kita tahu semua, Bersama Kita Bisa!”
Dari balik biliknya, Yudho manggut-manggut. Sebuah perbincangan hebat telah ia dengarkan. Mirip perbincangan di warung kopi yang beberapa waktu lalu ia dengar. Klasik. Cuma omong-omong doang. Tidak ada solusi. Tidak kongkret. Ia lalu memilih ganti kanal, mendengarkan musik dengan volume terbatas untuk bilik ukuran tiga kali tiga. Lamat-lamat terdengar lagu lawas dari White Lion, When the Children Cry, disenandungkan.
… No more presidents
And all the wars will end
One united world
under god
n rizagana
Tulisan ini telah dimuat di Investor Daily edisi Selasa, 29 Agustus 2006 halaman 24
Rubrik RASAN
Thursday, August 31, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment