Tahun 2008, industri telekomunikasi Indonesia, paling tidak dua kali berhadapan dengan regulasi pemerintah tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 111 Tahun 2007. Dua-duanya selalu melibatkan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pada kasus pertama, Depkominfo mengeluarkan aturan yang melarang investor asing masuk dalam bisnis menara telekomunikasi, yang bertentangan dengan Perpres DNI. Kedua, Depkominfo tak kuasa saat Qtel berniat mengakuisisi 65% saham PT Indosat tanpa harus memisahkan bisnis jaringan tetapnya. Kedua kasus itu menunjukkan kepada khalayak, betapa semua bisa diatur di negeri ini, sekalipun melanggar aturan.
Pada awal 2008, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh mengeluarkan regulasi tentang Menara Bersama yang tertuang dalam Peraturan Menkominfo No 2/2008. Aturan itu melarang investor asing untuk berbisnis dalam penyediaan menara telekomunikasi.
Aturan itu hadir sebagai kepedulian pemangku kepentingan, Menkominfo, terhadap industri dalam negeri. Dasarnya adalah hampir seluruh belanja modal industri telekomunikasi telah tersedot ke luar negeri dalam bentuk perangkat jaringan infrastruktur hingga perangkat penerima yang ada di konsumen (pesawat telepon genggam). Bahkan, investor asing telah menguasai sebagian besar saham perusahaan telekomunikasi Indonesia.
Itulah yang dikatakan Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar saat menjelaskan latar belakang terbitnya aturan menara yang menolak asing itu. Penyediaan menara merupakan lini bisnis yang bisa diusahakan lokal tanpa campur tangan asing. "Saya rasa semua pihak akan solid mendukung aturan menara ini tanpa ada resistensi," kata Basuki.
Namun, persoalannya bukan di situ, melainkan Peraturan Menkominfo itu dianggap menyalahi aturan di atasnya, yakni Perpres No 111/2007 tentang DNI. Oleh karena itu, aturan itu memancing reaksi dari pengusaha nasional. Ketua Umum Komite Pemulihan Ekonomi Nasional Sofyan Wanandi khawatir, hal itu bakal mengganggu iklim investasi di sektor telekomunikasi.
"Kita tidak berhak menutup pintu bisnis menara bagi asing karena jelas-jelas menyalahi UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal. Lagipula, masalah menara tidak diatur dalam DNI," ujar Sofjan Wanandi kala itu.
Ekonom dari CSIS Pande Radja Silalahi, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) ATSI Agus Simorangkir, ekonom dari CSIS Pande Radja Silalahi, dan Wakil Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas Wigrantoro Roes Setiyadi lantang menentang Peraturan Menkominfo itu. Juga, dengan alasan yang sama seperti dilontarkan Sofjan Wanandi. Mastel, bahkan mengirim surat resmi kepada Menkominfo, mempertanyakan aturan itu.
PT Excelcomindo Pratama (EP) yang tengah berancang-ancang memisahkan bisnis menaranya untuk kemudian dijual kepada pihak ketiga pun ikut-ikutan mempertanyakan aturan itu. Ada 7.000 menara yang akan dipisah dan dijual itu dan nilainya ditaksir sekitar Rp 7 triliun.
Dirut PT EP Hasnul Suhaimi mengatakan, persoalan bisnis menara itu bukan pada masalah teknis, melainkan soal permodalan. Kalau jumlah menara di Indonesia saat ini 50 ribu dan investasinya butuh Rp 1 miliar per menara, berarti dana yang dibenamkan di bisnis menara mencapai Rp 50 triliun.
“Dana sebesar itu, kalau bukan pemodal asing, siapa yang sanggup. Kalaupun bisa mungkin dari pinjaman bank,” kata Hasnul. Namun, apa yang bisa dilakukan Hasnul dan PT EP, kecuali comply alias manut saja terhadap setiap regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Asdep Telematika dan Utilitas Deputi V Menko Perekonomian Eddy Satriya merasa tidak pernah ada koordinasi soal perumusan aturan yang melarang asing masuk dalam bisnis menara. Seharusnya, untuk menutup sektor tertentu bagi asing terlebih dulu dikoordinasikan dengan kantor Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan pihak terkait, seperti BKPM dan tim Peningkatan Ekspor Peningkatan Investasi (PEPI) di Depdag.
“Selebihnya, tentu harus mendapat persetujuan dari presiden dengan cara membuat Perpres yang baru menggantikan Perpres No 111/2007,” kata Eddy Satriya.
Depkominfo yang dipimpin Muhammad Nuh sempat bungkam juga dihantam kiri-kanan, meski mereka tetap keukeuh pada pendiriannya. Apalagi ada dukungan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang disampaikan Heru Sutadi, dan pengusaha nasional yang bergerak di bidang penyediaan menara, Dirut PT Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower) Wahyu Sakti Trenggono.
Depkominfo makin teguh ketika Kepala BKPM M Luthfi lantang bersuara dalam seminar bertajuk Prospek Menara Bersama bagi Pengembangan Industri Telekomunikasi Indonesia pada 17 April 2008. Didampingi Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar, Luthfi mengatakan, “Ini adalah kampung kita. Untuk bisnis menara, kita ingin dikerjakan sendiri oleh pengusaha dalam negeri. Ini komitmen kita bagi pengusaha nasional.”
Bersama Dirjen Postel Depkominfo, lanjut Luthfi, BKPM telah melaporkan masalah ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu, semua diam, meski hingga kini belum ada perubahan atas Perpres No 111/2007 itu.