"Akhirnya kau tergolek juga di bangsal rumah sakit. Sakit juga kau!"
Seorang teman menepuk bahuku, dan menyeringai, melepas tawa. Ia menyempatkan diri mampir ke rumah sakit yang lebih mirip hotel bintang lima itu.
"Sakit apa kau!"
"Sudah sembuh, sih. Cuma capek badan ini, rasanya."
"Kenapa capek? Kayak ngurus negara saja, kau!"
"Salah kau. Yang ngurus negara itu justru tidak capek. Kita-kita ini, yang rakyat ini, yang capek."
"Lho kok bisa?"
Kawanku ini salah seorang pemerhati perpolitikan di Tanah Air. Kadang-kadang, ia menyebut dirinya sebagai tokoh politik nasional atau tokoh nasional. Padahal, tak ada jabatannya di partai politik. Ia dulu pernah menjadi salah satu staf humas dari partai politik. Itu pun partai politik gurem, yang kemudian lenyap setelah pemilu karena tersapu batas minim suara alias electoral treshold.
Aku hanya diam, menyadari kenyataan bahwa kawanku itu masih mengaku sebagai ‘politikus.’ Karena matanya melotot serta wajah dan tangannya seperti mematung di hadapanku, menanti jawabanku, akhirnya aku nyerocos pula.
"Coba kau lihat para pejabat itu. Mereka dapat mobil baru, mewah pula. Jalan-jalan di jalan tol tidak bayar, dipandu polisi atau polisi militer dengan sirene nguing-nguing memakakkan kuping."
"Dan, kau capek harus nyetir sendiri atau naik bus, bermacet-macet ria."
"Bukan itu kawan. Lihat saja apa yang terjadi dengan kasus Bank Century, yang kemudian melahirkan Tim Pansus DPR untuk mengusut kasus tersebut. Mereka mempertontonkan kegemaran mereka berdiskusi, berteriak, dan tertawa saling memuji dan berang saling memaki. Capek aku menontonnya!"
"Untuk apa kau tonton, kalau itu bikin kau capek. Makanya sakitlah kau, tidur di bangsal, disuguhi makanan tawar dan kau tetap harus bayar mahal. Untung kau tidak mati."
"Iya, capek aku. Capek aku mendengar memperdebatkan hal-hal yang tidak fundamentil bagi anak negeri ini. Capek aku melihat mereka main cakar-cakaran, lalu kemudian di balik layar bersalaman, salam tempel, lalu tertawa, menertawakan para penonton, dan diri sendiri."
Kawanku tadi menyeringai. Entah apa maksud dari tingkahnya itu. Apakah itu setuju atau tidak, sependapat dengan pendapat itu atau tidak, atau memang demikian adanya atau tidak.
Namun di balik senyumnya itu, terlihat keletihan di wajahnya. Letih mendengar celoteh pesakitan dari atas bangsal bersarung serba putih atau letih melihat negeri yang selalu menjadi bahan tertawaan, lahan cakar-cakaran, lahan makar-makaran itu.
Hari ini adalah babak akhir dari Tim Pansus DPR. Rapat Paripurna DPR RI digelar untuk mendengarkan hasil akhir dari Pansus Century. Empat ratus tiga puluh satu dari 560 anggota DPR hadir. Mereka berkumpul di dalam Gedung DPR RI. Di luar gedung ada ribuan orang berkumpul atau mungkin jutaan orang menanti putusan DPR.
Lalu, di layar kaca, kami disuguhi monolog Butet Kartaredjasa, yang menyebut, grup lawak pada berguguran, termasuk Srimulat bangkrut karena kalah lucu dengan para wakil rakyat di Gedung DPR RI. Bahkan, artis-artis kondang ibukota mulai masuk ke gedung DPR menjadi anggota dewan yang terhormat. Artis-artis itu ingin belajar acting dari anggota DPR agar tak mau kalau dari acting para anggota DPR atau demi mencegah agar selebritas itu tak tergilas para selebritas di Senayan. Butet menyebut apa yang terjadi di DPR sebagai Telenovela.
Aku jadi ragu dengan perkataan budayawan Pramudya Ananta Toer yang telah dipanggil Yang Kuasa dua tahun lalu, tentang saling sikut dan saling bunuh antar saudara sendiri. Bukankah yang terjadi adalah saling jaga antar saudara sendiri?
Jangan-jangan tulisan ini pun bagian dari kondisi itu. Lalu membuat banyak orang capek membacanya, karena memang tak ada gunanya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tuesday, March 02, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)